- PENDAHULUAN
1.
Pengertian
Menurut Suddarth
(2002:2353) Fraktur adalah
diskontiunitas jaringan tulang yang banyak disebabkan karena kekerasan yang
mendadak atau tidak atau kecelakaan.
Menurut Santoso
Herman (2000:144) Fraktur adalah
terputusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh
kekerasan.
Fraktur
adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Carpenito 2000:43)
Fraktur
adalah patahnya kontinuitas tulang yang terjadi ketika tulang tidak mampu lagi
menahan tekanan yang diberikan kepadanya. (Doenges, 2000:625)
Adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000).
Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing
Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya
kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar
dari yang dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam
buku Luckman and Sorensen’s Medical Surgical Nursing.
2.
Klasifikasi Fraktur
Fraktur dapat sangat
bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok,
yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur.
1) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur
bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Didalam buku Kapita Selekta Kedokteran tahun 2000, diungkapkan bahwa patah
tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar. Pendapat lain menyatidakan bahwa patah tulang
tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak
robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992).
2) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan
antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
karena adanya perlukaan kulit.
3.
Etiologi
a.
Trauma :
Langsung (kecelakaan lalulintas)
Tidak
langsung (jatuh dari ketinggian dengan posisi berdiri/duduk sehingga terjadi
fraktur tulang belakang )
b.
Patologis :
Metastase dari tulang
c.
Degenerasi
d. Spontan :
Terjadi tarikan otot yang sangat kuat.
4.
Faktor Predisposisi/Faktor Pencetus
a.
Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan
patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering
bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
b.
Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung
menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan.
Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor
kekerasan.
c.
Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan
otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan,
penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan. (Oswari
E, 1993)
5.
Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan
dan gaya pegas
untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal
yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma
pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang
(Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah
terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi
karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai
denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah
putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang
nantinya (Black, J.M, et al, 1993)
a.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1)
Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang
bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan
yang dapat menyebabkan fraktur.
2)
Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting
dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti
kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau
kekerasan tulang.
( Ignatavicius, Donna D, 1995 )
b. Biologi
penyembuhan tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan
tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah
dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru
dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang.
Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1.
Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan
terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin
guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan
fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti
sama sekali.
2.
Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium initerjadi
proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari
periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang
mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan
disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam
beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang
yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai,
tergantung frakturnya.
3.
Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang
memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang
tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini
dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan
mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang
imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan
periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat
sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur
menyatu.
4.
Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan
osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini
sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast
menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya
osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang
baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum
tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5.
Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang
yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk
ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae
yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding
yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk
struktur yang mirip dengan normalnya.
(Black, J.M, et
al, 1993 dan Apley, A.Graham,1993)
6.
Tanda dan Gejala
a.
Nyeri,
terus menerus dan bertambah berat sampai fragme tulang di imobilisasi. Spasme
otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk
menimbulkan gferakan atar afragmen tulang.
b.
Setelah
fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara
alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau
tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstimitas yang
bisa diketahui adengan membandingkan dengan ekstrimitas normal. Ekstrimitas tak
dapat berfungsi denga baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritas
tulag tempat melengketnya otot.
c.
Pada
fraktur panjang terjadi pemendeka tulang karena kontraksi otot yang melekat
diatas da bawah tempat fraktur.
d.
Saat
diperiksa dengan tangan teraba derik tulang yang disebut krepitus akibat
gesekan antara fragmen satu dengan lainnya (uji kreptus dapat berakibat
kerusakan jaringan lunak yang lebih berat)
e.
Pembegkaan
dan perubahan warna lokal pada kulit karena trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru
terjadi setelahb eberapa jam atau hari.
f.
Tidak
semua tanda dan gejala diatas terdapat pada setiap fraktur. Diagnosis fraktur
tergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaaan sinar X.
7.
Pemeriksaan Penunjang
a)
Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan
yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk
mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka
diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan
pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa
permintaan x-ray harus atas dasar indikasi
kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan
permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
(1)
Bayangan jaringan lunak.
(2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat
reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur
sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin
perlu tehnik khususnya seperti:
(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu
struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada
kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu
struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang
saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan
ikat yang rusak karena ruda paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan
potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang
yang rusak.
b)
Pemeriksaan Laboratorium
(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat
pada tahap penyembuhan tulang.
(2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan
tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
(3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase,
Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat
Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c)
Pemeriksaan lain-lain
(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test
sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya
pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila
terjadi infeksi.
(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan
konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang
rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini
didapatkan adanya infeksi pada tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat
fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
8.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Kedaruratan.
Bila dicurigai adanya fraktur
penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh segera sebelum pasien dipindahkan
bila pasien yang mengalami cidera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum
dapat dilakukan pembidaian, ekstrimitas harus disangga diatas dan di bawah
tempat fraktur untuk mencegah gerakan rotasi/angulasi. Gerakan frgmen patahan
tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak, dan perdarahan lebih
lanjut. Nyeri dapt dikurangi dengan menghindari gerakan fragmnen tulang dan
sendi sekitar fraktur. Pembidaian sangat penting untuk mencegah kerusakan
jaringan lunak oleh fragmen tulang.
Imobilisasi tulang panjang
ekstrimitas bawah juga dapat dilakkan dengan membebat kedua tungkai bersama,
dengan ekstrimitas yang sehat sebagai bidai bagi ekstrimitas yang cidera.
Pada ekstrimitas atas lengan
dapat dibebatkan pada dada atau lengan bawah yang cidera digantung pada sling.
Pada fraktur terbuka luka ditutup dengan pembalut erdih atau steril untuk
mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam, jangan sekali-kali melakukan
reduksi fraktur bahkan jika ada fragmen tulang melalui luka.
Prinsip Penanganan Reduksi Fraktur
1. Reduksi fraktur, mengembalikan fragmen
tulang pada kesejajarannya dan rotasi
anatomis. Reduksi tertutup, fraksi, atau
reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode yang dipilih
tergantung pada sifat fraktur tapi prinsip yang mendasari sama. Sebelu reduksi
dan imobilisasi fraktur pasien harus dipersiapkan: ijin melakukan prosedur,
analgetik sesuai ketentuan, dan persetujuan anestasi.
Reduksi
tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisiya dengan
manipulasi dan trksi manual.
2. Traksi , digunakan utuk mendapatkan efek
reduksi dan imobilisasi yang disesuaikan denganspsme otot yang terjadi.
3. Reduksi
terbuka, alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku,
atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam
posisinya.
4. Imobilisasi Fraktur, setelah direduksi fragmen
tulang harus di imobilisasi dan dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang
benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksternal (gips,pembalutan, bidai, traksi kontinyu, pin dan teknik gips atau
fiksator eksternal) dan interna ( implant logam ).
5.
Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dam imoblisasi harus
dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neuroveskuler ( mis. Pengkajian
peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau dan ahli bedah ortopedi
dibri tahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan , ansietas
dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan. Latihan isometrik dan
setting otot diusahaka untuk meminimalkan atrifi disuse dan meningkatkan
peredaran darah. Pengembalian brtahap pada aktifitas swemula diusahakan sesuai
dengan batasan terapeutik.
Faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur.
¨ Imoblisasi fragmen tulang
¨ Kontak fragmen tulang maksimal
¨ Asupan darah yang memadai
¨ Utrisi yangbaik
¨ Latihan pembebanan untuk tulang panjang
¨ Hormon-hormonn pertumbuhan , tiroid,
kaisitonon, vitamin D, steroid dan anabolik
¨ Potensial listrik pada patahan tulang
Faktor yang menghambat penyembuhan tulang
·
Trauma
lokal ekstensif
·
Kehilangan
tulang
·
Imoblisasi
tak memadai
·
Rongga
atau ajaringan diantara fragmen tulang
·
Infeksi
·
Keganasan
lokal
·
Penyakit
tulang metabolik (paget)
·
Tadiasi
tulang (nekrosis radiasi)
·
Nekrosis
evakuler
·
Fraktur
intraartikuler (cairan senovial mengandung fibrolisin, yang akan melisis bekuan
darah awal dan memperlambat pertumbuhan jendalan)
·
Usia
(lansia sembuh lebih lama)
·
Kartikusteroid
(menghambat kecepata perbaikan
9.
Pathway
Trauma Patologis Degeneratif Spontan
![]() |
|||||
![]() |
![]() |
||||
Patah Tulang
![]() |

![]() |



![]() |
![]() |
||


![]() |
Trauma
Penetrasi DP :
Risiko Infeksi
![]() |


![]() |
|||
![]() |
|||

![]() |
Penyebab kematian dini Penyebab
lambat kematian(Stl 3 hr)
![]() |
![]() |
||
Hemoragi & Cidera Kepala Gangguan Organ Multipel Sepsis
![]() |
![]() |

![]() |

![]() |
![]() |




Penurunan Curah Jantung,Tensi, Perfusi
![]() |
Syok Sepsis
![]() |

![]() |
![]() |
DP : Kerusakan mobilitas fisik PK
: Kontraktur
10. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien
sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang
pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
Pengumpulan Data
1)
Anamnesa
a) Identitas
Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama,
bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi,
golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b)
Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa
yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang
dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit
bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa
nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan
skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan,
apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
c) Riwayat
Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab
dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap
klien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang
terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui
mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain.
d) Riwayat
Penyakit Dahulu
Pada
pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk
berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti
kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang
sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di
kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga
diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).
e) Riwayat
Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit
tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f)
Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam
masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
g) Pola-Pola
Fungsi Kesehatan
(1)
Pola
Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus
fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan
harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya.
Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol
yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau
tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
(2) Pola
Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien
fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti
kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari
nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
(3) Pola
Eliminasi
Untuk kasus
fraktur tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga
dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau,
dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
(4) Pola
Tidur dan Istirahat
Semua klien
fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
(5) Pola
Aktivitas
Karena
timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi
berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain
yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien.
Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain.
(6) Pola
Hubungan dan Peran
Klien akan
kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus
menjalani rawat inap.
(7) Pola
Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan body image).
(8) Pola
Sensori dan Kognitif
Pada klien
fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada
indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak
mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
(9) Pola
Reproduksi Seksual
Dampak pada
klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus
menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami
klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak,
lama perkawinannya.
10) Pola
Penanggulangan Stress
Pada klien
fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul
kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh
klien bisa tidak efektif.
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien
fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama
frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak klien.
2)
Pemeriksaan Fisik
Dibagi
menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan
gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat
melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya
memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a) Gambaran
Umum
Perlu menyebutkan:
(1)
Keadaan
umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(a)
Kesadaran
penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan
klien.
(b)
Kesakitan,
keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur
biasanya akut.
(c)
Tanda-tanda
vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
(2)
Secara
sistemik dari kepala sampai kelamin
(a) Sistem
Integumen
Terdapat
erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu,
normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu
simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
(d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit,
lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi,
simetris, tak oedema.
(e) Mata
Tidak ada gangguan seperti
konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
(f) Telinga
Tes bisik atau weber masih
dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada
pernafasan cuping hidung.
(h) Mulut
dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil,
gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot
intercostae, gerakan dada simetris.
(j) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan
meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan
sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi
Suara ketok
sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4) Auskultasi
Suara
nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan
ronchi.
(k) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi
Nadi
meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak
ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands
muskuler, hepar tidak teraba.
(3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan
gelombang cairan.
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada
hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b) Keadaan
Lokal
Harus
diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status
neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
(1) Look
(inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat
dilihat antara lain:
(a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami
maupun buatan seperti bekas operasi).
(b)
Cape au lait spot
(birth mark).
(c)
Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide)
atau hyperpigmentasi.
(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan
dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas
(deformitas)
(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar
periksa)
(2) Feel
(palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi
penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya
ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa
maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat)
dan kelembaban kulit.
(b)
Apabila
ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar
persendian.
(c)
Nyeri
tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau
distal).
Otot:
tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan
atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler.
Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3)
Move
(pergeraka terutama lingkup gerak)
Setelah
melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas
dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup
gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya.
Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai
dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini
menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan
yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
11. Diagnosa
Keperawatan
a.
Nyeri
akut
b.
Kerusakan
integritas jaringan
c.
Kerusakan
mobilitas fisik
d.
Deficit
self care
e.
Resiko
infeksi
12. Rencana
Asuhan Keperawatan
No
|
Diagnosa
keperawatan
|
Tujuan
dan Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
1.
|
Nyeri akut
Definisi :
Sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang muncul
secara aktual atau potensial kerusakan jaringan atau menggambarkan adanya
kerusakan (Asosiasi Studi Nyeri Internasional): serangan mendadak atau pelan
intensitasnya dari ringan sampai berat yang dapat diantisipasi dengan akhir
yang dapat diprediksi dan dengan durasi kurang dari 6 bulan.
Batasan
karakteristik :
-
Laporan secara verbal atau non
verbal
-
Fakta dari observasi
-
Posisi antalgic untuk menghindari
nyeri
-
Gerakan melindungi
-
Tingkah laku berhati-hati
-
Muka topeng
-
Gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau,
menyeringai)
-
Terfokus pada diri sendiri
-
Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir,
penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan)
-
Tingkah laku distraksi, contoh : jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau
aktivitas, aktivitas berulang-ulang)
-
Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan
nafas, nadi dan dilatasi pupil)
-
Perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke
kaku)
-
Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada,
iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah)
-
Perubahan dalam nafsu makan dan minum
Faktor yang berhubungan :
Agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis)
|
NOC :
v Pain
Level,
v Pain
control,
v Comfort
level
Kriteria Hasil :
v Mampu
mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
v
Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
v
Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
v
Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
v Tanda
vital dalam rentang normal
|
Pain Management
§
Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
§ Observasi
reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
§
Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri
pasien
§
Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
§ Evaluasi
pengalaman nyeri masa lampau
§
Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan
kontrol nyeri masa lampau
§
Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
§
Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
§ Kurangi
faktor presipitasi nyeri
§
Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan
inter personal)
§
Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
§ Ajarkan
tentang teknik non farmakologi
§ Berikan
analgetik untuk mengurangi nyeri
§ Evaluasi
keefektifan kontrol nyeri
§ Tingkatkan
istirahat
§
Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil
§
Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
Analgesic
Administration
§
Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat
§
Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi
§ Cek
riwayat alergi
§
Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu
§
Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri
§
Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal
§
Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
§
Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
§
Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
§
Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)
|
2.
|
Resiko Infeksi
Definisi : Peningkatan resiko masuknya organisme patogen
Faktor-faktor
resiko :
-
Prosedur Infasif
-
Ketidakcukupan pengetahuan untuk menghindari paparan patogen
-
Trauma
-
Kerusakan jaringan dan peningkatan paparan lingkungan
-
Ruptur membran amnion
-
Agen farmasi (imunosupresan)
-
Malnutrisi
-
Peningkatan paparan lingkungan
patogen
-
Imonusupresi
-
Ketidakadekuatan imum buatan
-
Tidak adekuat pertahanan sekunder (penurunan Hb, Leukopenia, penekanan
respon inflamasi)
-
Tidak adekuat pertahanan tubuh primer (kulit tidak utuh, trauma jaringan,
penurunan kerja silia, cairan tubuh statis, perubahan sekresi pH, perubahan
peristaltik)
-
Penyakit kronik
|
NOC :
v Immune
Status
v Knowledge
: Infection control
v Risk
control
Kriteria Hasil :
v
Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
v
Mendeskripsikan proses penularan penyakit, factor yang mempengaruhi
penularan serta penatalaksanaannya,
v
Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
v Jumlah
leukosit dalam batas normal
v Menunjukkan
perilaku hidup sehat
|
NIC :
Infection Control
(Kontrol infeksi)
·
Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
·
Pertahankan teknik isolasi
·
Batasi pengunjung bila perlu
·
Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan
setelah berkunjung meninggalkan pasien
·
Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
·
Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan kperawtan
·
Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
·
Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
·
Ganti letak IV perifer dan line
central dan dressing sesuai dengan petunjuk umum
·
Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing
·
Tingktkan intake nutrisi
·
Berikan terapi antibiotik bila perlu
Infection
Protection (proteksi terhadap infeksi)
·
Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
·
Monitor hitung granulosit, WBC
·
Monitor kerentanan terhadap infeksi
·
Batasi pengunjung
·
Saring pengunjung terhadap penyakit
menular
·
Partahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko
·
Pertahankan teknik isolasi k/p
·
Berikan perawatan kuliat pada area epidema
·
Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase
·
Ispeksi kondisi luka / insisi bedah
·
Dorong masukkan nutrisi yang cukup
·
Dorong masukan cairan
·
Dorong istirahat
·
Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep
·
Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
·
Ajarkan cara menghindari infeksi
·
Laporkan kecurigaan infeksi
·
Laporkan kultur positif
|
3.
|
Sindroma Defisit Perawatan Diri
( kurang perawatan diri : mandi, berpakaian, makan,
dan toileting )
Definisi : Gangguan kemampuan untuk
melakukan ADL pada diri
Batasan karakteristik :
ketidakmampuan untuk mandi, ketidakmampuan untuk berpakaian,
ketidakmampuan untuk makan, ketidakmampuan untuk toileting.
Faktor yang berhubungan :
kelemahan, kerusakan kognitif atau perceptual, kerusakan
neuromuskular/ otot-otot saraf.
|
NOC
-
Self care : hygiene
-
Self care : Activity of Daily Living (ADL)
-
Self care :
Bathing, dressing, feeding, dan toileting.
Kriteria hasil :
-
Tubuh tidak bau/kotor
dan kulit terjaga
-
Tertarik untuk ADL
sesuai kemampuannya
-
Menjelaskan dan
menggunakan metode perawatan diri secara aman dan dengan kesulitan
minimal
|
Self care assistance : ADL (Activity Daily
Living)
|
4.
|
Kerusakan Mobilitas Fisik
Definisi :
Keterbatasan dalam kebebasan
untuk pergerakan fisik tertentu pada bagian tubuh atau satu atau lebih
ekstremitas
Batasan karakteristik :
-
Postur tubuh yang
tidak stabil selama melakukan kegiatan rutin harian
-
Keterbatasan
kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik kasar
-
Keterbatasan
kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik halus
-
Tidak ada
koordinasi atau pergerakan yang tersentak-sentak
-
Keterbatasan ROM
-
Kesulitan berbalik
(belok)
-
Perubahan gaya
berjalan (Misal : penurunan kecepatan berjalan, kesulitan memulai jalan,
langkah sempit, kaki diseret, goyangan yang berlebihan pada posisi lateral)
-
Penurunan waktu
reaksi
-
Bergerak
menyebabkan nafas menjadi pendek
-
Usaha yang kuat
untuk perubahan gerak (peningkatan perhatian untuk aktivitas lain, mengontrol
perilaku, fokus dalam anggapan ketidakmampuan aktivitas)
-
Pergerakan yang
lambat
-
Bergerak
menyebabkan tremor
Faktor yang berhubungan :
-
Pengobatan
-
Terapi pembatasan
gerak
-
Kurang pengetahuan
tentang kegunaan pergerakan fisik
-
Indeks massa tubuh
diatas 75 tahun percentil sesuai dengan usia
-
Kerusakan persepsi
sensori
-
Tidak nyaman,
nyeri
-
Kerusakan
muskuloskeletal dan neuromuskuler
-
Intoleransi
aktivitas/penurunan kekuatan dan stamina
-
Depresi mood atau
cemas
-
Kerusakan kognitif
-
Penurunan kekuatan
otot, kontrol dan atau masa
-
Keengganan untuk
memulai gerak
-
Gaya hidup yang
menetap, tidak digunakan, deconditioning
-
Malnutrisi
selektif atau umum
-
Kehilangan
integritas struktur tulang
|
NOC :
Ambulation : Walking
Mobility Level
Self Care : activities of Daily Living (ADLs)
Kriteria Hasil :
|
NIC :
Exercise Therapy : Ambulation (Terapi
Aktivitas : Ambulasi)
§ Monitoring vital
sign sebelm/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan
§ Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan
kebutuhan
§ Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap
cedera
§ Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi
§ Kaji kemampuan
pasien dalam mobilisasi
§ Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai
kemampuan
§ Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs
ps.
§ Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.
§
Ajarkan pasien
bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan
|
DAFTAR PUSTAKA
·
Apley,
A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta,
1995.
·
Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s
Medikal Nursing : A Nursing Process Approach, 4 th Edition, W.B.
Saunder Company, 1995.
·
Brunner dan Suddarth,
2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
·
Carpenito,
Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta, 1999.
·
Carpenito (2000), Diagnosa
Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC, Jakarta
·
Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta, 1991.
·
Doenges at al (2000), Rencana
Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta
·
Dudley, Hugh AF, Ilmu Bedah Gawat Darurat,
Edisi II, FKUGM, 1986.
·
Henderson,
M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika, Yogyakarta, 1992.
·
Hudak and Gallo, Keperawatan Kritis,
Volume I EGC, Jakarta, 1994.
·
Ignatavicius, Donna D, Medical Surgical
Nursing : A Nursing Process Approach, W.B. Saunder Company, 1995.
·
Keliat,
Budi Anna, Proses Perawatan, EGC, Jakarta, 1994.
·
Long,
Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Edisi 3 EGC, Jakarta, 1996.
·
Mansjoer,
Arif, et al, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius
FKUI, Jakarta, 2000.
·
Oswari,
E, Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.
·
Price,
Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta 1997.
·
Reksoprodjo,
Soelarto, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI/RSCM, Binarupa Aksara,
Jakarta, 1995.
·
Tucker,
Susan Martin, Standar Perawatan Pasien, EGC, Jakarta, 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar