KONSEP
DASAR
A. PENGERTIAN FRAKTUR
1.
Fraktur
adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang. (Apley, A. Graham, alih bahasa Edi Nugroho, 1995:
338).
2.
Fraktur
adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh ruda paksa. (Mansjoer, A. et al, 2000: 346).
3. Fraktur
adalah terputusnya kontuinitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya,
fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorbsinya (Smelter & Bare, 2002).
4. Fraktur
adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat dari trauma,
beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti osteoporosis, yang
menyebabkan fraktur yang patologis (Barret dan Bryant, 1990).
5. Fraktur
adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh rasa nyeri,
pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan krepitasi (Doenges,
2000).
B. ETIOLOGI FRAKTUR
Menurut Apley, A.Graham, alih
bahasa Edi Nugroho, 1995 : 238-239 fraktur dapat terjadi akibat :
- Fraktur akibat peristiwa trauma
Fraktur yang disebabkan oleh kekuatan yang
tiba-tiba dan berlebihan, yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan,
pemuntiran atau penarikan.
a. Bila
terkena kekuatan langsung.
Tulang dapat patah pada tempat
yang terkena, jaringan lunak rusak.
b. Bila
terkena kekuatan tak langsung
Tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang
terkena itu, kerusakan jaringan lunak pada fraktur mungkin tidak ada.
- Fraktur kelelahan atau tekanan
Akibat dari tekanan yang berulang-ulang sehingga
dapat menyebabkan retak yang terjadi pada tulang.
- Kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik)
Fraktur
dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah (misalnya oleh
tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh.
Penyebab fraktur menurut Sjamsuhidayat
(1998) adalah:
1.
Ruda paksa
2.
Trauma
3.
Proses patologis
Misalnya: tumor, infeksi atau osteoporosis tulang.
Ini disebabkan kekuatantulang yang berkurang dandisebut patah tulang patologis.
4. Beban lama atau trauma ringan yang terus
menerus yang disebut fraktur
C. KLASIFIKASI FRAKTUR
Menurut
Mansjoer (2000 : 346-347) dan menurut Appley Solomon (1995 : 238-239) fraktur
diklasifikasikan menjadi :
- Berdasarkan garis patah tulang
a.
Greenstick, yaitu fraktur dimana satu sisi tulang
retak dan sisi lainnya bengkok.
b.
Transversal, yaitu fraktur yang memotong lurus pada
tulang.
c.
Spiral,
yaitu fraktur yang mengelilingi tungkai/lengan tulang.
d.
Obliq,
yaitu fraktur yang garis patahnya miring membentuk sudut melintasi tulang.
- Berdasarkan bentuk patah tulang
a. Complet,
yaitu garis fraktur menyilang atau memotong seluruh tulang dan fragmen tulang
biasanya tergeser.
b. Incomplet,
meliputi hanya sebagian retakan pada sebelah sisi tulang.
c. Fraktur
kompresi, yaitu fraktur dimana tulang terdorong ke arah permukaan tulang lain.
d. Avulsi,
yaitu fragmen tulang tertarik oleh ligamen.
e. Communited
(Segmental), fraktur dimana tulang terpecah menjadi beberapa bagian.
f.
Simple, fraktur dimana tulang patah dan kulit
utuh.
g.
Fraktur
dengan perubahan posisi, yaitu ujung tulang yang patah berjauhan dari tempat
yang patah.
h.
Fraktur
tanpa perubahan posisi, yaitu tulang patah, posisi pada tempatnya yang normal.
i.
Fraktur
Complikata, yaitu tulang yang patah menusuk kulit dan tulang terlihat.
- Berdasarkan keadaan luka
a. Fraktur
terbuka
Fraktur yang terjadi akibat ligamen tulang bergeser ke bagian otot dan
kulit sehingga adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka terbagi atas tiga
derajat yaitu:
1)
Derajat
I, yaitu luka tembus dengan diameter 1 cm, kerusakan jaringan lunak sedikit dan
kontaminasi minimal.
2)
Derajat
II, terdapat luka laserasi lebih dari 1 cm, tanpa disertai kerusakan jaringan
lunak yang lebih luas, kontaminasi minimal.
3)
Derajat
III, terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot
dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III terbagi
atas tiga bagian yaitu:
a)
Jaringan
lunak menutupi fraktur tulang meskipun terdapat laserasi luar.
b)
Kehilangan
jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau kontaminasi massif.
c)
Luka
pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat kerusakan
jaringan lunak.
b. Fraktur
tertutup
Yaitu fraktur yang tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
- Berdasarkan bentuk pergeseran
a.
Undisplaced,
garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser.
b.
Diaplaced,
yaitu terjadi pergeseran fragmen-fragmen tulang.
Ada empat macam fraktur
antebrakhial :
1.
Fraktur
Colles
2.
Fraktur
Smith.
3.
Fraktur
Galeazzi.
4.
Fraktur
Montegia.
D. PATOFISIOLOGI FRAKTUR
Trauma yang terjadi pada tulang dapat menyebabkan
seseorang mempunyai keterbatasan gerak dan ketidakseimbangan berat badan. Fraktur yang terjadi dapat berupa fraktur
tertutup ataupun fraktur terbuka. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan
jaringan lunak disekitarnya sedangkan fraktur terbuka biasanya disertai
kerusakan jarigan lunak seperti otot, tendon, ligamen, dan pembuluh darah.
Tekanan
yang kuat atau berlebihan dapat mengakibatkan fraktur terbuka karena dapat
menyebabkan fragmen tulang keluar menembus kulit sehingga akan menjadikan luka
terbuka dan akan menyebabkan peradangan dan memungkinkan untuk terjadinya
infeksi.
Keluarnya
darah dari luka terbuka dapat mempercepat pertumbuhan bakteri. Tertariknya
segmen tulang disebabkan karena adanya kejang otot pada daerah fraktur
menyebabkan disposisi pada tulang, sebab tulang berada pada posisi yang kaku.
Patofisiologi menurut Black dan Jacob’s
(1993)
Peristiwa trauma tunggal

Tekanan yang berulang-ulang
![]() |
Kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologi)
![]() |
Fraktur
![]() |
Kerusakan periosteum, pembuluh darah dan sum-sum
tulang
![]() |
Perdarahan pada ujung tulang yang fraktur
![]() |
Merangsang respon peradangan akut dan proliferasi
sel-sel dibawah periosteum
![]() |
Hematom yang membeku perlahan diabsorbsi dan
kapiler baru berkembang
![]() |
Awal proses
penyembuhan
E. MANIFESTASI KLINIK
Menurut
Blach (1989) manifestasi klinik fraktur adalah :
- Nyeri
Nyeri
kontinue/terus-menerus dan meningkat semakin berat sampai fragmen tulang tidak
bisa digerakkan.
- Gangguan fungsi
Setelah
terjadi fraktur ada bagian yang tidak dapat digunakan dan cenderung menunjukkan
pergerakan abnormal, ekstremitas tidak berfungsi secara teratur karena fungsi
normal otot tergantung pada integritas tulang yang mana tulang tersebut saling
berdekatan.
- Deformitas/kelainan bentuk
Perubahan
tulang pada fragmen disebabkan oleh deformitas tulang yang diketahui ketika
dibandingkan dengan daerah yang tidak luka.
- Pemendekan
Pada
fraktur tulang panjang terjadi pemendekan yang nyata pada ekstremitas yang
disebabkan oleh kontraksi otot yang berdempet di atas dan di bawah lokasi
fraktur.
- Krepitasi
Suara detik
tulang yang dapat didengar atau dirasakan ketika fraktur digerakkan.
- Bengkak dan perubahan warna
Hal ini
disebabkan oleh trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
F. PENCEGAHAN FRAKTUR
Menurut Long, B.C. (1996 : 356) pencegahan fraktur dapat dengan 3 pendekatan:
- Dengan membuat lingkungan lebih aman.
Langkah-langkahnya:
a.
Adanya
pegangan pada dinding dekat bak mandi (bathtub).
b.
Melengkapi
kamar mandi dengan pegangan.
c.
Menjauhkan
kesed dan kendala lain dari daerah yang dialui pasien dengan masalah locomotor.
d.
Roda-roda
kursi beruda harus dilengkapi rem.
e.
Mengajarkan
kepada pasien yang harus memakai alat bantu ambulatori dan kursi beroda
sehingga terampil.
- Mengajarkan kepada masyarakat secara berkesinambungan mengenai:
a. Bahaya
minum sambil mengemudi.
b. Pemakaian
sabuk pengaman.
c. Harus
berhati-hati pada waktu mendaki tangga, melaksanakan kegiatan dengan
mengeluarkan tenaga atau alat berat.
d. Mengunakan
pakaian pengaman untuk pekerjaan berbahaya baik di rumah atau di tempat
pekerjaan.
e.
Menggunakan
pakaian pelindung pada saat berolah raga.
- Mengajarkan kepada para wanita mengenai masalah osteoporosis.
G. PROSES PENYEMBUHAN FRAKTUR
Untuk
penyembuhan fraktur diperlukan immobilisasi. Imobilisasi dilaksanakan dengan cara (Syamsu
Hidayat : 1997) :
- Pembidaian Physiologik
Pembidaian semacam ini terjadi secara alami karena
menjaga pemakaian dan spasmus otot karena rasa sakit pada waktu digerakkan.
- Pembidaian secara orthopedi eksternal
Ini digunakan dengan gips dan traksi.
- Fiksasi internal
Pada metode ini, kedua ujung tulang yang patah
dikembalikan kepada posisi asalnya dan difiksasi dengan pelat dan skrup atau
diikat dengan kawat.
Setelah immobilisasi dilaksanakan, tulang akan
beradaptasi pada kondisi tersebut, yaitu mengalami proses penyembuhan dan
perbaikan tulang. Faktor tersebut dapat diperbaiki tetapi prosesnya agak
lambat, karena melibatkan pembentukan tulang baru. Proses tersebut terjadi
empat tahap yaitu:
- Pembentukan prokallus/Hematoma
Hematoma akan terbentuk pada 42 jam sampai 72 jam
pertama pada daerah fraktur yang disebabkan karena adanya perdarahan yang
terkumpul di sekitar fraktur yaitu darah dan eksudat, kemudian akan diserbu
oleh kapiler dan sel darah putih terutama netrofil, kemudian diikat oleh
makrofag, sehingga akan terbentuk jaringan granulasi. Pada saat ini masuk juga
fibroblast dan osteoblast yang berasal dari lapisan dalam periosteum dan
endosteum.
- Pembentukkan Kallus
Selama 4 – 5 hari osteoblas menyusun trabekula di
sekitar ruang-ruangan yang kelak menjadi saluran harvest. Jaringan itulah yang
dinamakan kallus yang berfungsi sebagai bidai yang terbentuk pada akhir minggu
kedua.
- Osifikasi
Dimulai pada dua sampai tiga meinggu setelah
fraktur jaringan kallus akhirnya akan diendapi oleh garam-garam mineral dan
akan terbentuk tulang yang akan menghubungkan kedua sisi yang patah.
- Kallus Formation
a.
Osteoblast
terus membuat jala untuk membangun tulang.
b.
Osteoblast
merusakkan tulang mati dan membantu mensintesa tulang baru.
c. Collagen
menjadi kuat dan terus menyatu dengan deposit kalsium.
- Remodeling
Callus yang berlebihan diabsorbsi dan tulang
trabecular terbentuk pada garis cedera.
Faktor-faktor yang
menghambat pertumbuhan callus:
- Penyambungan yang lambat
Bila
patah tulang tidak sembuh dalam periode penyembuhan.
Penyebab:
1)
Callus
putus atau remuk karena aktifitas berlebihan.
2)
Edema
pada lokasi fraktur, menahan penyaluran nutrisi ke lokasi.
3) Immobilisasi
yang tidak efisien.
4) Infeksi
terjadi pada lokasi.
5) Kondisi
gizi pasien buruk.
- Non union
Penyembuhan tulang tidak terjadi walaupun telah
memakan waktu lama. Penyebab antara lain :
1) Terlalu
banyak tulang yang rusak pada cedera sehingga tidak ada yang menjembatani
fragmen.
2)
Terjadi
nekrosa tulang karena tidak ada aliran darah.
3)
Anemi
endoceime imbalance (ketidakseimbangan endokrim atau penyebab sitemik yang
lain).
Faktor yang mempengaruhi
penyembuhan tulang yaitu:
- Faktor lokal
a. Sifat
luka atau berat utama
Derajat pembentukan formasi
selama penyembuhan.
b. Jumlah
tulang yang hilang
c. Tipe
tulang yang cedera
d. Derajat
imobilisasi yang terkena
e.
Infeksi
lokal yang dapat memperlambat penyembuhan.
f.
Nekrosis
tulang yang menghalangi aliran darah ke daerah fraktur.
- Faktor klien
a. Usia
klien
b. Pengobatan
yang sedang dijalani.
c. Sistem
sirkulasi.
d. Gizi
e. Riwayat
penyakit.
Dampak mobilisasi akibat fraktur terhadap sistem tubuh
1.
Sistem
respiratory
Kurangnya pergerakan akan
mengakibatkan kurangnya rangsang batuk, kurang dalam ventilasi menyebabkan
lendir akan bertumpuk pada bronchi dan bronchioles.
2.
Sistem
Integumen
Kehilangan integritas kulit
disebabkan karena gesekan, tekanan, pergeseran jaringan satu dengan yang lain.
Penghambatan sirkulasi ke jaringan, adanya infeksi, trauma, berkeringat.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Ada beberapa
pemeriksaan yang harus dilakukan pada klien dengan kasus fraktur (Doengoes, M.
E., 2000: 762) yaitu:
- Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap untuk mendeteksi kadar
leukosit pada klien, karena pada klien dengan luka terbuka resiko tinggi
terjadi peningkatan kadar leukosit, hematokrit kemungkinan meningkat atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada grauma
multiple, kreatinin dapat meningkatkan beban kreatinin untuk kelainan ginjal.
- Pemeriksaan Radiologi
Tampak jelas pada pemeriksaan rongent terlihat
lokasi dan luas fraktur. Skan tulang, tomogram, skan CT/MRI dapat digunakan
untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
I. KOMPLIKASI FRAKTUR
Menurut Long, B.C. (1996) komplikasi fraktur adalah :
- Sindrom Kompartemen
Terjadi bila pembengkakan akibat fraktur atau
tekanan dalam suatu ruang yang dibatasi oleh kompartemen atau inflamasi yang
mengakibatkan peningkatan dari dalam. Gejala utama dari sindrom kompartemen
adalah rasa sakit yang bertambah parah terutama pada pergerakan pasif dan nyeri
tersebut tidak hilang oleh narkotik. Tanda lain adalah terjadinya paralysis,
dan berkurangnnya denyut nadi.
- Kerusakan Saraf
Terjadi karena cidera kerusakan saraf itu sendiri
atau karena adanya penekanan oleh gips. Kerusakan saraf ini akan menyebabkan
kerusakan fungsi sensorik.
- Iskemik
Dengan
adanya oedem akibat fraktur akan menekan pada jaringan sekitarnya termasuk
vaskuler. Tekanan ini dapat menyebabkan sirkulasi darah berkurang dengan
demikian akan menimbulkan iskemik pada jaringan otot yang makin lama akan
mengakibatkan kematian jaringan otot yang akan diganti oleh jaringan fibrotik
sehingga terjadi kontraktur.
Gejalanya: dingin, pucat,
sianosis, nyeri, bengkak distal dari cedera atau gips. Serangannya pada
saat terjadi cedera atau setelah pakai gips.
- Emboli
Perubahan tekanan pada fraktur menyebabkan molekul
lemak terdorong dari sum-sum ke dalam peredaran darah sistemik berakibat gangguan
pada respiratori dan sistem saraf pusat.
Gejalanya : sakit dada, pucat, dyspnea, putus asa, bingung, perdarahan
petechieare pada kulit dan conjungtiva.
Serangan : 2-3 hari setelah
cedera.
Pengobatan : Tindakan yang menunjang
yakni sikap fowler, pemberian oksigen, transfusi darah untuk mengatasi shock
hipovolemik, berikan diuretik, bronkhodilator, cortico- steroid dan imobilisasi
yang baik serta penanganan yang cermat dapat mencegah terulangnya masalah.
- Nekrosis Avaskuler
Nekrosis terjadi ketika daerah tulang rusuk karena
kematian tulang sehingga aliran darah terganggu dan tulang akan mengalami
osteoporosis dan nekrosis.
- Osteomyelitis
Kuman masuk ke dalam luka atau dari daerah lain
dari tubuh. Infeksi bagian sum-sum saluran havar dan subperiosteal yang berakibat
merusak tulang oleh enzim proteolitik.
Gejala : Edema, nyeri terdapat pus.
Pengobatan : Kultur dan tes sensitif
antibiotik, drainage, debridemen.
Pencegahan : Terapkan teknik aseptis
pada waktu membalut luka terbuka.
J. PENTALAKSANAAN
Prinsip Penatalaksanaan
Dengan Konservatif & Operatif
Cara Konservatif
Cara Konservatif
Dilakukan pada anak-anak dan
remaja dimana masih memungkinkan terjadinya pertumbuhan tulang panjang. Selain itu, dilakukan karena adanya
infeksi atau diperkirakan dapat terjadi infeksi. Tindakan yang dilakukan adalah
dengan gips dan traksi.
- Gips
Gips yang ideal adalah yang
membungkus tubuh sesuai dengan bentuk tubuh. Indikasi dilakukan pemasangan gips
adalah :
- Immobilisasi dan penyangga fraktur
- Istirahatkan dan stabilisasi
- Koreksi deformitas
- Mengurangi aktifitas
- Membuat cetakan tubuh orthotik
Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam pemasangan gips adalah :
1.
Gips
yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan
2.
Gips
patah tidak bisa digunakan
3.
Gips
yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat membahayakan klien
4.
Jangan
merusak / menekan gips
5.
Jangan
pernah memasukkan benda asing ke dalam gips / menggaruk
6.
Jangan
meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama
- Traksi (mengangkat / menarik)
Secara umum traksi dilakukan dengan
menempatkan beban dengan tali pada ekstermitas pasien. Tempat tarikan
disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah tarikan segaris dengan sumbu panjang
tulang yang patah. Metode pemasangan traksi antara lain :
1.
Traksi
manual
Tujuannya
adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada keadaan emergency.
2.
Traksi
mekanik, ada 2 macam :
a.
Traksi
kulit (skin traction)
Dipasang
pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain misal otot. Digunakan dalam
waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.
b.
Traksi
skeletal
Merupakan
traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan
untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal / penjepit melalui tulang
/ jaringan metal.
Cara
operatif / pembedahan
Pada
saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak keunggulannya mungkin adalah
pembedahan. Metode perawatan
ini disebut fiksasi interna dan reduksi terbuka. Pada umumnya insisi dilakukan
pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan sepanjang bidang anatomik
menuju tempat yang mengalami fraktur. Hematoma fraktur dan fragmen-fragmen
tulang yang telah mati diirigasi dari luka. Fraktur kemudian direposisi dengan
tangan agar menghasilkan posisi yang normal kembali. Sesudah direduksi,
fragmen-fragmen tulang ini dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa pen,
sekrup, pelat, dan paku.
Keuntungan perawatan fraktur dengan pembedahan antara lain :
Ketelitian reposisi fragmen tulang yang patah
Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf yang berada didekatnya
Dapat mencapai stabilitas fiksasi yang cukup memadai
Tidak perlu memasang gips dan alat-alat stabilisasi yang lain
Perawatan di RS dapat ditekan seminimal mungkin, terutama pada kasus-kasus yang tanpa komplikasi dan dengan kemampuan mempertahankan fungsi sendi dan fungsi otot hampir normal selama penatalaksanaan dijalankan
Keuntungan perawatan fraktur dengan pembedahan antara lain :
Ketelitian reposisi fragmen tulang yang patah
Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf yang berada didekatnya
Dapat mencapai stabilitas fiksasi yang cukup memadai
Tidak perlu memasang gips dan alat-alat stabilisasi yang lain
Perawatan di RS dapat ditekan seminimal mungkin, terutama pada kasus-kasus yang tanpa komplikasi dan dengan kemampuan mempertahankan fungsi sendi dan fungsi otot hampir normal selama penatalaksanaan dijalankan
FRAKTUR
ANTEBRACHII
A.
PENGERTIAN
Fraktur Antebrachii adalah
fraktur pada tulang yang biasanya terjadi di antebrachium (lengan bawah). (Reksoprodjo,
1998).
B.
KLASIFIKASI
Menurut Arif Mansjoer (2000: 351)
ada 4 klasifikasi fraktur antebrachii antaralain:
1.
Fraktur
Colles
Deformitas pada fraktur ini
berbentuk seperti sendok makan (dinner fork deformity). Pasien terjatuh dalam
keadaan tangan terbuka dan pronasi, tubuh beserta lengan berputar ke dalam
(endorotasi). Tangan terbuka terfiksasi di tanah berputar keluar (eksorotasi
supinasi).
2.
Fraktur
Smith.
Fraktur dislokasi ke arah
anterior (volar), karena itu sering disebut reverse colles fracture. Fraktur
ini biasa terjadi pada orang muda. Pasien jatuh dengan tangan menahan badan
sedang posisi tangan dalam keadaan volar fleksi pada pergelangan tangan dan
pronasi.
3.
Fraktur
Galeazzi.
Fraktur radius distal disertai
dislokasi sendi radius radius ulna distal. Saat pasien jatuh dengan tangan
terbuka yang menahan badan, terjadi pula rotasi lengan bawah dalam posisi
pronasi waktu menahan berat badan yang memberi gaya supinasi.
4.
Fraktur
Montegia.
Fraktur sepertiga proksimal
ulna disertai dislokasi sendi radius ulna proksimal.
C. PENATALAKSANAAN
1.
Penatalaksanaan Fraktur Antebrachii
1.
Fraktur
Colles
Pada fraktur colles tanpa
dislokasi hanya diperlukan immobilisasi dengan pemasangan gips sirkular di
bawah siku selama 4 minggu. Bila disertai dislokasi diperlukan tindakan
reposisi tertutup
2.
Fraktur
Smith.
Dilakukan reposisi dalam
anastesi lokal atau anastesi umum. Posisi tangan diletakkan dalam posisi
dorsofleksi-supinasi. Diimobilisasi dalam gips sirkulasi di bawah siki selama 4
minggu-6 minggu.
3.
Fraktur
Galeazzi.
Dapat dilakukan reposisi
tertutup. Bila hasilnya baik, dilakukan immobilisasi dengan gips sirkular di
atas siku, dipertahankan selama 4-6 minggu.
4.
Fraktur
Montegia.
Dilakukan reposisi tertutup.
Setelah berhasil dilakukan immobilisasi gips sirkulasi di atas siku dengan
posisi siku fleksi 90.
2.
Penatalaksaan klien dengan fraktur
a) ORIF
( Open Reduction Internal Fixation)
yaitu
prosedur pembedahan untuk memperbaiki fungsi dengan mengembalikan stabilitas
dan mengurangi rasa nyeri pada tulang yang patah yang telah direduksi dengan
skrup, paku dan pin logam. (Brunner&Suddart, 2001:2301).
b) Traksi adalah pemasangan
gaya tarikan ke bagian tubuh. (Brunner&Suddart, 2001:2293).
c) Reduksi terbuka
Melakukan
kesejajaran tulang yang patah setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan
pemanjangan tulang yang patah. (Brunner&Suddart, 2001:2301).
d) Fiksasi
ekterna
Yaitu
mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak dimana garis fraktur
direduksi, disejajarkan dan diimobilisasi dengan sejumlah pin yang dimasukkan
ke dalam fragmen tulang.
e) Gips
Yaitu
alat immobilisasi eksternal yang kaku dan dicetak sesuai bentuk tubuh yang
dipasang.
3. Perawatan Klien Fraktur
a.
Perawatan
klien dengan fraktur tertutup
Klien
dengan fraktur tertutup harus diusahakan untuk kembali ke aktivitas biasa sesegera
mungkin. Penyembuhan fraktur dan pengembalian kekuatan penuh dan mobilitas
mungkin memerlukan waktu sampai berbulan-bulan. Klien diajari bagaimana
mengontrol.
Pembengkakan dan nyeri sehubungan dengan fraktur dan
trauma jaringan lunak. Mereka didorong untuk aktif dalam batas imobilisasi
fraktur. Tirah baring diusahakan seminimal mungkin. Latihan segera dimulai
untuk mempertahankan kesehatan otot yang sehat, dan untuk meningkatkan kekuatan
otot yang dibutuhkan untuk pemindahan, menggunakan alat bantu (misalnya:
tongkat, walker).
Klien
diajari mengenai bagaimana menggunakan alat tersebut dengan aman. Perencanaan
dilakukan untuk membantu klien menyesuaikan lingkungan rumahnya sesuai
kebutuhan dan bantuan keamanan pribadi, bila perlu. Pengajaran klien
meliputi perawatan diri, informasi obat-obatan.
b. Perawatan
klien fraktur terbuka
Pada fraktur terbuka (yang berhubungan dengan luka
terbuka memanjang sampai permukaan kulit dan ke daerah cedera tulang) terdapat
resiko infeksi seperti: osteomielitis, gas gangren, dan tetanus. Tujuan
penanganan adalah meminimalkan kemungkinan infeksi luka, jaringan lunak dan
tulang untuk mempercepat penyembuhan jaringan lunak dan tulang.
Luka dibersihkan, didebridemen (benda asing dan
jaringan mati diangkat), dan diirigasi. Dilakukan usapan luka untuk biakan dan
kepekaan. Mungkin perlu dilakukan grapt tulang untuk menjembatani defek, namun
harus yakin bahwa jaringan resipien masih sehat dan mampu memfasilitasi
penyatuan.
G. PEMERIKSAAN
PENUNJANG
Menurut Doegoes,dkk (1999)
pemeriksaan penunjang pada kasus fraktur
- Scan tulang, tomogram, magnetic resonance imaging (MRI) memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak.
- Arteriogram, dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler
- Profil koagulasi
- Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranafusi multiple atau cairan hati.
ASUHAN
KEPERAWATAN
DENGAN
FRAKTUR ANTEBRACHII
A.
PENGKAJIAN
1.
Wawancara
1.
Nyeri
2.
Lemah,
tidak dapat melakukan kegiatan
3.
Apakah
pernah mengalami trauma
4.
Kebiasaan
makan makanan tinggi kalsium
5.
Hilangnya
gerakan/sensasi
6.
Spasme/kram
otot (setelah imobilisasi)
2.
Pemeriksaan Fisik
Dilakukan dengan cara
inspeksi, palpasi, perkusi,dan auskultasi
1.
Aktivitas/Istirahat
Tanda: Keterbatasan/kehilangan fungsi pada
bagian yang terkena.
2.
Sirkulasi
Tanda: Hipertensi (kadang-kadang terlihat
sebagai respon terhadap nyeri), Takikardia (respon stress, hipovilemia),
penurunan tidak ada nadi pada bagian distal yang terkena, pengisian kapiler
yang lambat, pucat, pembengkakan jaringan atau massa hematom pada sisi cedera.
3.
Neirosensori
Tanda: Hilang gerakan/sensasi, spasme otot,
kesemutan, (parestesia)
Gejala: Deformitas lokal; angulasi abnormal,
pemendekan, rotasi, krepitasi, (bunyi berderik), spasme otot, terlihat
kelemahan/hilang fungsi.
4.
Nyeri/Kenyamanan
Gejala: Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera
(mungkin terlokalisasi pada area jaringan/kerusakan tulang, dapat berkurang
pada imobilisasi, tidak ada nyeri akibat kerusakan syaraf, spasme/kram otot
9setelah mobilisasi).
5.
Keamanan
Tanda: Laserasi kulit, avulse jaringan,
perdarahan, perubahan warna, pembengkakan lokal (dapat meningkat
bertahap/secara tiba-tiba)
3.
Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doengoes, M.E (2000)
1.
Pemeriksaan
Rontgen
Menentukan lokasi/luasnya
fraktur/trauma
2.
Scan
tulang, tomogram, scan CT/MRI
Memperlihatkan fraktur, juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3.
Arteriogram
Dilakukan bila kerusakan
vaskuler dicurigai
4.
Hitung
darah lengkap
Hematokrit mungkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau
organ pada trauma multiple). Peningkatan jumlah sel darah putih adalah respon
stress normal setelah trauma.
5.
Kreatinin
Trauma pada otot meningkatkan
beban kreatinin untuk klirens ginjal.
6.
Profil
Koagulasi
Perubahan dapat terjadi pada
kehilangan darah, transfusi multiple atau cedera hati.
B.
PATHWAY KEPERAWATAN








|
|
||||




|
|





|


Lemak dilepaskan Trombus terbawa Sindrom kompartemen


![]() |
Masuk Pembuluh darah Penurunan Aliran


Kerusakan
neurovaskuler
|
|
![]() |
||||
|


![]() |
|||
|
|||
Menurut Doengoes, dkk (1999 : 761),
Carpenito (2000 : 45), Black dan Jacob’s (1993)
C.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pre Operasi
1.
Nyeri
akut berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan sekunder terhadap fraktur.
2.
Resiko
tinggi terhadap disfungi neurovaskuler perifer berhubungan dengan penurunan
aliran darah (cedera vaskuler langsung, edema berlebihan, pembentukan trombus)
3.
Resiko
trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang (fraktur).
4.
Cemas
berhubungan dengan akan dilakukannya tindakan operasi
5.
Kurang
pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan informasi mengenai pengobatan.
Post Operasi
1.
Nyeri
akut berhubungan dengan agen cedera fisik
2.
Resiko
infeksi berhubungan dengan trauma jaringan (prosedur invasif).
3.
Kerusakan
mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (nyeri).
4.
Resiko
kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik.
D.
INTERVENSI
Pre Operasi
1.
DX I
Nyeri akut b.d. spasme otot
dan kerusakan sekunder terhadap fraktur.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan nyeri berkurang atau hilang.
NOC:
a.
NOC
1: Level Nyeri
Kriteria Hasil:
1.
Laporkan
frekuensi nyeri 5. Perubahan
TTV
2.
Kaji
frekuensi nyeri
3.
Lamanya
nyeri berlangsung
4.
Ekspresi
wajah terhadap nyeri
b.
NOC
2: Kontrol Nyeri
Kriteria Hasil:
1.
Mengenal
faktor penyebab
2.
Gunakan
tindakan pencegahan
3.
Gunakan
tindakan non analgetik
4.
Gunakan
analgetik yang tepat
Ket Skala:
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
NIC: Manajemen Nyeri
1)
Kaji
secara menyeluruh tentang nyeri termasuk lokasi, durasi, frekuensi, intensitas,
dan faktor penyebab.
2)
Observasi
isyarat non verbal dari ketidaknyamanan terutama jika tidak dapat berkomunikasi
secara efektif.
3)
Berikan
analgetik dengan tepat.
4)
Berikan
informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berakhir dan
antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur.
5)
Ajarkan
teknik non farmakologi (misalnya: relaksasi, guide, imagery,terapi
musik,distraksi)
2.
DX II
Resiko tinggi disfungsi neurovaskuler b.d. penurunan aliran darah
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan neurovaskuler perifer berfungsi kembali.
NOC: Circulation Status
Kriteria Hasil:
a.
Nadi
normal
b.
Tekanan
vena sentral normal
c.
Perbedaan
arteriol-venous oksigen normal
d.
Peripheral
pulse kuat
e.
Tidak
terjadi cedera peripheral
f.
Tidak
terjadi kelemahan yang berlebihan
Ket Skala:
1 = Sangat kompromi
2 = Kompromi baik
3 = Cukup Kompromi
4 = Jarang Kompromi
5 = Tidak Kompromi
NIC:
1.
NIC
1: Exercise Therapy
1)
Tentukan
batasan pergerakan sendi dan efek dari fungsi
2)
Monitor
lokasi ketidaknyamanan selama pergerakan
3)
Dukung
ambulasi
2.
NIC
2: Circulatory Care
1)
Evaluasi
terhadap edema dan nadi
2)
Inspeksi
kulit terhadap ulser
3)
Dukung
pasien untuk latihan sesuai toleransi
4)
Kajiderajat
ketidaknyamanan/nyeri
5)
Turunkan
ekstremitas untuk memperbaiki sirkulasi arterial
3.
DX III
Resiko tinggi trauma b.d.
kehilangan integritas tulang (fraktur)
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan tidak terjadi trauma.
NOC: Risk Control
Kriteria Hasil:
1.
Memonitor
faktor resiko lingkungan
2.
Memonitor
faktor resiko perilaku pasien
3.
Menggunakan
pelayanan kesehatan kongruen dengan kebutuhan
4.
Memonitor
perubahan status kesehatan
5.
Partisipasi
dalam perawatan untuk identifikasi resiko
Ket Skala:
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
NIC: Enviromental
Manaement: Safety
2)
Identifikasi
keamanan yang dibutuhkan pasien, pada tingkat fungsi fisik dan kognitif dan
perilaku yang lalu
3)
Identifikasi
keselamatan pasien terhadap bahaya dalam lingkungan (fisik, biologi, kimia)
4)
Modifikasi
lingkungan untuk meminimalkan resiko bahaya.
5)
Monitor
perubahan lingkungan dalam kondisi keamanan dan keselamatan pasien.
4.
DX IV
Cemas berhubungan dengan akan
dilakukannya tindakan operasi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan pasien dan
keluarga tidak mengalami kecemasan.
NOC: Control Cemas
Kriteria Hasil:
1.
Monitor
Intensitas kecemasan
2.
Menurunkanstimulasi
lingkungan ketika cemas
3.
Menggunakan
strategi koping efektif
4.
Mencari
informasi untuk menurunkan cemas
5.
Menggunakan
teknik relaksasi untuk menurunkan cemas
Ket Skala:
1 = Tidak pernah dilakukan
2 = Jarang dilakukan
3 = Kadang dilakukan
4 = Sering dilakukan
5 = Selalu dilakukan
NIC: Penurunan Kecemasan
1)
Tenangkan
Klien
2)
Jelaskan
seluruh prosedur tindakan kepada klien dan perasaan yang mungkin muncul pada
saat melakukan tindakan
3)
Berikan
informasi tentang diagnosa, prognosis, dan tindakan.
4)
Temani
pasien untuk mendukung keamanan dan menurunkan rasa sakit.
5)
Instruksikan
pasien untuk menggunakan metode/ teknik relaksasi.
5.
DX V
Kurang pengetahuan b.d. keterbatasan informasi mengenai pengobatan
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan pengetahuan pasien dan keluarga bertambah.
NOC: Pengetahuan: proses
penyakit.
Kriteria Hasil:
a.
Mengenal
tentang penyakit
b.
Menjelaskan
proses penyakit
c.
Menjelaskan
penyebab/faktor yang berhubungan
d.
Menjelaskan
faktor resiko
e.
Menjelaskan
komplikasi dari penyakit
f.
Menjelaskan tanda dan gejala dari penyakit
Ket Skala:
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
NIC:
a.
NIC
1: Health Care Information exchange
1)
Identifikasi
pemberi pelayanan keperawatan yang lain
2)
Identifikasi
kemampuan pasien dan keluarga dalam mengimplementasikan keperawatan setelah
penjelasan
3)
Jelaskan
peran keluarga dalam perawatan yang berkesinambungan
4)
Jelaskan
program perawatan medik meliputi; diet, pengobatan, dan latihan.
5)
Jelaskan
rencana tindakan keperawatan sebelum mengimplementasikan
b.
NIC
2: Health Education
1)
Jelaskan
faktor internal dan eksternal yang dapat menambah atau mengurangi dalam
perilaku kesehatan.
2)
Jelaskan
pengaruh kesehatan danperilaku gaya hidup individu,keluarga/lingkungan.
3)
Identifikasi
lingkungan yang dibutuhkan dalam program perawatan.
4)
Anjurkan
pemberian dukungan dari keluarga dan keluarga untuk membuat perilaku kondusif.
Post Operasi
1.
DX I
Nyeri akut b.d. agen cidera
fisik
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan nyeri berkurang atau hilang.
NOC:
a.
NOC
1: Level Nyeri
Kriteria Hasil:
1.
Laporkan
frekuensi nyeri
2.
Kaji
frekuensi nyeri
3.
Lamanya
nyeri berlangsung
4.
Ekspresi
wajah terhadap nyeri
5.
Kegelisahan
6.
Perubahan
TTV
b.
NOC
2: Kontrol Nyeri
Kriteria Hasil:
1.
Mengenal
faktor penyebab
2.
Gunakan
tindakan pencegahan
3.
Gunakan
tindakan non analgetik
4.
Gunakan
analgetik yang tepat
Ket Skala:
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
NIC: Manajemen Nyeri
1)
Kaji
secara menyeluruh tentang nyeri termasuk lokasi, durasi, frekuensi, intensitas,
dan faktor penyebab.
2)
Observasi
isyarat non verbal dari ketidaknyamanan terutama jika tidak dapat berkomunikasi
secara efektif.
3)
Berikan
analgetik dengan tepat.
4)
Berikan
informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berakhir dan
antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur.
5)
Ajarkan
teknik non farmakologi (misalnya: relaksasi, guide, imagery,terapi
musik,distraksi)
2.
DX II
Resiko tinggi infeksi b.d.
trauma jaringan (prosedur invasif)
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan infeksitidak
terjadi.
NOC:
a.
NOC
1: Deteksi Infeksi
Kriteria Hasil:
1.
Mengukur
tanda dan gejala yang mengindikasikan infeksi
2.
Berpartisipasi
dalam perawatan kesehatan
3.
Mampu
mengidentifikasi potensial resiko
b.
NOC
2: Pengendalian Infeksi
Kriteria Hasil:
1.
Pengetahuan
tentang adanya resiko infeksi
2.
Mampu
memonitor faktor resiko dari lingkungan
3.
Membuat
strategi untuk mengendalikan resiko infeksi
4.
Mengatur
gaya hidup untuk mengurangi resiko
5.
Penggunaan
pelayanan kesehatan yang sesuai
Ket Skala:
1 = Selalu
2 = Sering
3 = Kadang
4 = Jarang
5 = Tidak pernah
NIC: Teaching diases proses
1)
Deskripsikan
proses penyakit dengan tepat
2)
Sediakan
informasi tentang kondisi pasien
3)
Diskusikan
perawatan yang akan dilakukan
4)
Gambaran
tanda dan gejala penyakit
5)
Instruksikan
pasien untuk melaporkan kepada perawat untuk melaporkan tentang tanda dan
gejala yang dirasakan.
3.
DX III
Kerusakan mobilitas fisik b.d.
kerusakan meurovaskuler (nyeri)
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan pasien dapat meningkatkan mobilisasi pada tingkat yang
paling tinggi
NOC: Mobility level
Kriteria Hasil:
a.
Keseimbangan
penampilan
b.
Memposisikan
tubuh
c.
Gerakan
otot
d.
Gerakan
sendi
e.
Ambulansi
jalan
f.
Ambulansi
kursi roda
Ket Skala:
1 = Dibantu total
2 = Memerlukan bantuan orang
lain dan alat
3 = Memerlukan orang lain
4 = Dapat melakukan sendiri
dengan bantuan alat
5 = Mandiri
NIC:
Exercise Therapy: Ambulation
1)
Bantu
pasien untuk menggunakan fasilitas alat bantu jalan dan cegah kecelakaan atau
jatuh
2)
Tempatkan
tempat tidur pada posisi yang mudah dijangkau/diraih pasien.
3)
Konsultasikan
dengan fisioterapi tentang rencana ambulansi sesuai kebutuhan
4)
Monitor
pasien dalam menggunakan alatbantujalan yang lain
5)
Instruksikan
pasien/pemberi pelayanan ambulansi tentang teknik ambulansi.
4.
DX IV
Resiko kerusakan integritas kulit
b.d. imobilisasi fisik.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan kerusakan integritas kulit tidak terjadi.
NOC: Integritas Jaringan:
kulit dan membran mukosa
Kriteria Hasil:
a.
Sensasi
normal
b.
Elastisitas
normal
c.
Warna
d.
Tekstur
e.
Jaringan
bebas lesi
f.
Adanya
pertumbuhan rambut dikulit
g.
Kulit
utuh
Ket Skala:
1 = Kompromi luar biasa
2 = Kompromi baik
3 = Kompromi kadang-kadang
4 = Jarang kompromi
5 = Tidak pernah kompromi
NIC: Skin Surveilance
1)
Observation
ekstremitas oedema, ulserasi, kelembaban
2)
Monitor
warna kulit
3)
Monitor
temperatur kulit
4)
Inspeksi
kulit dan membran mukosa
5)
Inspeksi
kondisi insisi bedah
6)
Monitor
kulit pada daerah kerusakan dan kemerahan
7)
Monitor
infeksi dan oedema
E.
EVALUASI
Pre Operasi
DX
|
Kriteria Hasil
|
Ket Skala
|
I
|
NOC 1: Level Nyeri
a.
Laporkan
frekuensi nyeri (4)
b.
Kaji
frekuensi nyeri (4)
c.
Lamanya
nyeri berlangsung (5)
d.
Ekspresi
wajah terhadap nyeri (5)
e.
Kegelisahan
(5)
f.
Perubahan
TTV (5)
NOC 2: Kontrol Nyeri
1.
Mengenal
faktor penyebab (5)
2.
Gunakan
tindakan pencegahan (5)
3.
Gunakan
tindakan non analgetik (4)
4.
Gunakan
analgetik yang tepat (5)
|
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
|
II
|
a.
Nadi
normal (2)
b.
Tekanan
vena sentral normal (2)
c.
Perbedaan
arteriol-venous oksigen normal (2)
d.
Peripheral
pulse kuat (2)
e.
Tidak
terjadi cedera peripheral (2)
f.
Tidak
terjadi kelemahan yang berlebihan (2)
|
1 = Sangat kompromi
2 = Kompromi baik
3 = Cukup Kompromi
4 = Jarang Kompromi
5 = Tidak Kompromi
|
III
|
a.
Memonitor
faktor resiko lingkungan (5)
b.
Memonitor
faktor resiko perilaku
Pasien (5)
c. Menggunakan pelayanan kesehatan kongruen
dengan kebutuhan (5)
d. Memonitor perubahan status kesehatan (5)
e. Partisipasi dalam perawatan untuk
identifikasi resiko (5)
|
1=Tidak
pernah menunjukkan
2 =
Jarang menunjukkan
3 =
Kadang menunjukkan
4 =
Sering menunjukkan
5 =
Selalu menunjukkan
|
IV
|
a.
Monitor
Intensitas kecemasan (5)
b.
Menurunkanstimulasi
lingkungan ketika cemas (5)
c.
Menggunakan
strategi koping efektif (5)
d.
Mencari
informasi untuk menurunkan cemas (5)
e.
Menggunakan
teknik relaksasi untuk menurunkan cemas (5)
|
1 = Tidak pernah dilakukan
2 = Jarang dilakukan
3 = Kadang dilakukan
4 = Sering dilakukan
5 = Selalu dilakukan
|
V
|
a.
Mengenal
tentang penyakit (5)
b.
Menjelaskan
proses penyakit (5)
c.
Menjelaskan
penyebab/faktor yang berhubungan (5)
d.
Menjelaskan
faktor resiko (5)
e.
Menjelaskan
komplikasi dari penyakit (5)
f.
Menjelaskan tanda dan gejala dari penyakit (5)
|
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
|
Post Operasi
DX
|
Kriteria Hasil
|
Ket Skala
|
I
|
NOC 1: Level Nyeri
a.
Laporkan
frekuensi nyeri (5)
b.
Kaji
frekuensi nyeri (5)
c.
Lamanya
nyeri berlangsung (5)
d.
Ekspresi
wajah terhadap nyeri (5)
e.
Kegelisahan
(5)
f.
Perubahan
TTV (5)
NOC 2: Kontrol Nyeri
a.
Mengenal
faktor penyebab (5)
b.
Gunakan
tindakan pencegahan (5)
c.
Gunakan
tindakan non analgetik (5)
d.
Gunakan
analgetik yang tepat (5)
|
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
|
II
|
NOC 1: Deteksi Infeksi
a.
Mengukur
tanda dan gejala yang mengindikasikan infeksi (5)
b.
Berpartisipasi
dalam perawatan kesehatan (5)
c.
Mampu
mengidentifikasi potensial resiko (5)
NOC 2: Pengendalian Infeksi
a.
Pengetahuan
tentang adanya resiko infeksi (5)
b.
Mampu
memonitor faktor resiko dari lingkungan (5)
c.
Membuat
strategi untuk mengendalikan resiko infeksi (5)
d.
Mengatur
gaya hidup untuk mengurangi resiko (5)
e.
Penggunaan
pelayanan kesehatan yang sesuai (5)
|
1 = Selalu
2 = Sering
3 = Kadang
4 = Jarang
5 = Tidak pernah
|
III
|
a.
Keseimbangan
penampilan (50
b.
Memposisikan
tubuh (5)
c.
Gerakan
otot (5)
d.
Gerakan
sendi (5)
e.
Ambulansi
jalan (5)
f.
Ambulansi
kursi roda (5)
|
1 = Dibantu total
2 = Bantuan orang lain dan alat
3 = Memerlukan orang lain
4 = Dengan bantuan alat
5 = Mandiri
|
IV
|
a.
Sensasi
normal (2)
b.
Elastisitas
normal (2)
c.
Warna
(2)
d.
Tekstur
(2)
e.
Jaringan
bebas lesi (2)
f.
Adanya
pertumbuhan rambut dikulit (2)
g.
Kulit
utuh (2)
|
1 = Kompromi luar biasa
2 = Kompromi baik
3 = Kompromi kadang-kadang
4 = Jarang kompromi
5 = Tidak pernah kompromi
|
DAFTAR
PUSTAKA
Apley, A.C & Solomon,
L. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan fraktur Sistem Apley, ed 7. Jakarta:
Widya Medika.
Capernito, Linda Juall.
1993. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis, ed 6. Jakarta:
EGC.
Doengoes, M.E, dkk. 1999. Rencana
Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien, ed 3. Jakarta: EGC.
Engram, Barbara. 1998. Rencana
Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, vol 2. Jakarta: EGC.
Harnowo, S. 2001. Keperawatan
Medikal Bedah untuk Akademi Keperawatan. Jakarta: Widya Medika.
Hidayat, Aziz.A. 2006. Pengantar
Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika.
Jhonson,
Marion, dkk. 2000. NOC. Jakarta: Morsby.
Long, B.C. 1988. Perawatan
Medikal Bedah Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Bandung: Yayasan IAPK
Padjajaran.
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita
Selekta Kedokteran, ed 3, jilid 2. Jakarta: Aesculapius.
McCloskey,
Cjoane, dkk. 1995.NIC. Jakarta: Morsby.
NANDA, 2005, Panduan Diagnosa
Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi 2005-2006, Alih Bahasa: Budi Santosa, Prima Medika, Jakarta.
Price, S A & Wilson, L
M. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, jilid 2.
Jakarta: EGC
Syamsuhidayat, R &
Jong,W. 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah.
Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C & Bare,
B. G .2000. Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing. Philadelphia :
Lippincott.
Staf pengajar Fakultas
Kedokteran UI. 1995. Kumpulan Kuliah
Medikal Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara.
http://www.google.com. Diakses tanggal 20 Oktober
2008. Fraktur Antebrachii. Dwi Djuwantoro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar