BAB I
CEREBRAL PALSY
A. Pengertian
Cerebral
palsy adalah ensefalopatistatis yang mungkin didefinisikan sebagai kelainan
postur dan gerakan non-progresif, sering disertai dengan epilepsy dan ketidaknormalan
bicara, penglihatan,
dan kecerdasan akibat dari cacat atau lesi otak yang sedang berkembang.
Cerebral
palsy ialah suatu gangguan nonspesifik yang disebabkan oleh abnormalitas sistem motor piramida (motor
kortek, basal
ganglia dan otak kecil) yang
ditandai dengan kerusakan pergerakan dan postur pada serangan awal.
Cerebral
palsy adalah kerusakan jaringan otak yang kekal dan tidak progresif, terjadi pada waktu masih muda
(sejak dilahirkan) serta merintangi perkembangan otak normal dengan gambaran
klinik dapat berubah selama hidup dan menunjukkan kelainan dalam sikap dan
pergerakan, disertai
kelainan neurologis berupa kelumpuhan spastis, gangguan ganglia basal dan
sebelum juga kelainan mental.
Cerebral
palsy ialah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada suatu kurun waktu
dalam perkembangan anak, mengenai sel-sel motorik di dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik dan tidak
progresif akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai
pertumbuhannya.
Cerebral
palsy adalah suatu keadaan yang ditandai dengan buruknya pengendalian otot, kekakuan,
kelumpuhan dan gangguan fungsi saraf lainnya.
B. Etiologi
Penyebab
cerebral palsy dapat dibagi dalam tiga periode yaitu :
1. Pranatal :
a. Malformasi kongenital.
Infeksi dalam kandungan yang dapat menyebabkan kelainan
janin (misalnya; rubela, toksoplamosis, sifihis, sitomegalovirus, atau infeksi
virus lainnya).
b. Radiasi sinar X.
c. Toksemia gravidarum.
d. Asfiksia dalam kandungan (misalnya: solusio plasenta,
plasenta previa, anoksi maternal, atau tali pusat yang abnormal).
e. Keracunan kehamilan dapat menimbulkan serebral palsy.
f. Gangguan pertumbuhan otak.
2. Natal :
a. Anoksia/hipoksia.
Penyebab
terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah cidera otak. Keadaan inilah yang
menyebabkan terjadinya anoksia. Hal demikian terdapat
pada keadaan presentasi bayi abnormal, disproporsi sefalopelvik, partus lama,
plasenta previa, infeksi plasenta, partus menggunakan bantuan alat tertentu dan lahir dengan
seksio sesar.
b. Perdarahan
otak.
Perdarahan
dan anoksia dapat terjadi bersama-sama, sehingga sukar membedakannya, misalnya
perdarahan yang mengelilingi batang otak, mengganggu pusat pernapasan dan
peredaran darah sehingga terjadi anoksia. Perdarahan dapat terjadi di ruang
subaraknoid dan menyebabkan penyumbatan CSS sehingga mangakibatkan
hidrosefalus. Perdarahan di ruang subdural dapat menekan korteks serebri
sehingga timbul kelumpuhan spastis.
c. Trauma
lahir, misalnya perdarahan subdural
d. Prematuritas.
Bayi
kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita pendarahan otak lebih banyak
dibandingkan dengan bayi cukup bulan, karena pembuluh darah, enzim, factor
pembekuan darah dan lain-lain masih belum sempurna.
e. Ikterus
Ikterus
pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak yang kekal akibat
masuknya bilirubin ke ganglia basal.
f. Meningitis purulenta
Meningitis
purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat pengobatannya akan mengakibatkan gejala sisa berupa
palsi serebral.
3. Postnatal :
a. Trauma kapitis.
b. Infeksi misalnya : meningitis bakterial, abses
serebri, tromboplebitis, ensefalomielitis.
c. Kern icterus.
Beberapa penelitian
menyebutkan faktor prenatal dan perinatal lebih berperan dari pada faktor pascanatal. Studi oleh Nelson dkk (1986) (dikutip dari
13) menyebutkan bayi dengan berat lahir rendah, asfiksia saat lahir, iskemi prenatal,
faktor genetik, malformasi kongenital, toksin, infeksi intrauterin merupakan
faktor penyebab cerebral palsy.
Faktor prenatal
dimulai saat masa gestasi sampai saat lahir, sedangkan faktor perinatal yaitu segala faktor yang menyebabkan
cerebral palsy mulai dari lahir sampai satu bulan kehidupan.
Sedang faktor pasca
natal mulai dari bulan pertama kehidupan sampai 2 tahun (Hagberg dkk 1975),
atau sampai 5 tahun kehidupan (Blair dan Stanley, 1982), atau sampai 16 tahun
(Perlstein, Hod, 1964).
C. Faktor Resiko
Faktor-faktor
resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya CP semakin besar antara lain
adalah :
1. Letak sungsang.
2. Proses persalinan sulit
Masalah
vaskuler atau respirasi bayi selama persalinan merupakan tanda awal yang
menunjukkan adanya masalah kerusakan otak atau otak bayi tidak berkembang
secara normal. Komplikasi tersebut dapat menyebabkan kerusakan otak permanen.
3. Apgar score rendah.
Apgar
score yang rendah hingga 10 – 20 menit setelah kelahiran.
4. BBLR dan prematuritas.
Resiko
CP lebih tinggi diantara bayi dengan berat lahir rendah dengan berat di bawah
2,5 kg.
5. Kehamilan ganda
Resiko
cerebral palsy akan semakin meningkat ketika sejumlah bayi membagi uterus ibu.
6. Malformasi SSP.
Sebagian
besar bayi-bayi yang lahir dengan CP memperlihatkan malformasi SSP yang nyata,
misalnya lingkar kepala abnormal (mikrosefali). Hal tersebut menunjukkan bahwa
masalah telah terjadi pada saat perkembangan SSP sejak dalam kandungan.
7. Perdarahaan maternal atau proteinuria berat pada saat
masa akhir kehamilan.
8. Perdarahan vaginal selama bulan ke 9 hingga 10
kehamilan dan peningkatan jumlah protein dalam urine berhubungan dengan
peningkatan resiko terjadinya CP pada bayi.
9. Hipertiroidism maternal, mental retardasi dan kejang.
10. Kejang
pada bayi baru lahir.
D. Patofisiologi
Adanya
malformasi hambatan pada vaskuler, atrofi, hilangnya neuron dan degenarasi
laminar akan menimbulkan narrowergyiri, suluran sulci dan berat otak rendah.
Serebral palsi digambarkan sebagai kekacauan pergerakan dan postur tubuh yang
disebabkan oleh cacat nonprogressive atau luka otak pada saat anak-anak. Suatu
presentasi serebral palsi dapat diakibatkan oleh suatu dasar kelainan
(structural otak : awal sebelum dilahirkan, perinatal, atau luka-luka/kerugian setelah kelahiran dalam kaitan
dengan ketidakcukupan vaskuler, toksin atau infeksi)
E.
Manifestasi Klinis
1. Spastisitas
Terdapat
peninggian tonus otot dan refleks yang disertai dengan klonus dan reflek
Babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu menetap dan tidak hilang
meskipun penderita dalam keadaan tidur. Peninggian tonus ini tidak sama derajatnya
pada suatu gabungan otot, karena itu tampak sifat yang khas dengan
kecenderungan terjadi kontraktur, misalnya lengan dalam aduksi, fleksi pada
sendi siku dan pergelangan tangan dalam pronasi serta jari-jari dalam fleksi
sehingga posisi ibu jari melintang di telapak tangan.
Tungkai
dalam sikap aduksi, fleksi pada sendi paha dan lutut, kaki dalam flesi plantar
dan telapak kaki berputar ke dalam. Tonic neck reflex dan refleks neonatal
menghilang pada waktunya. Kerusakan biasanya terletak di traktus kortikospinalis.
Bentuk kelumpuhan spastisitas tergantung kepada letak dan besarnya kerusakan
yaitu monoplegia/ monoparesis. Kelumpuhan ke empat anggota gerak, tetapi salah
satu anggota gerak lebih hebat dari yang lainnya; hemiplegia/hemiparesis adalah
kelumpuhan lengan dan tungkai dipihak yang sama; diplegia/ diparesis adalah
kelumpuhan ke empat
anggota gerak tetapi tungkai lebih hebat dari pada lengan;
tetraplegia/tetraparesis adalah kelumpuhan ke empat anggota gerak, lengan lebih atau sama hebatnya
dibandingkan dengan tungkai.
Golongan
spastitis ini meliputi /3 –
¾ penderita cerebral palsy. Bentuk kelumpuhan spastitis tergantung kepada letak
dan besarnya kerusakan, yaitu:
1. Monoplegia/Monoparesis
Kelumpuhan ke empat anggota gerak, tetapi salah
satu anggota gerak lebih hebat dari yang lainnya.
2. Hemiplegia/Diparesis
Kelumpuhan lengan dan
tungkai dipihak yang sama.
3. Diplegia/Diparesis
Kelumpuhan ke empat anggota gerak, tetapi
tungkai lebih hebat dari pada lengan.
4. Tetraplegia/Tetraparesis
Kelumpuhan ke empat anggota gerak, tetapi
lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan tungkai.
2. Tonus otot yang berubah
Bayi
pada golongan ini, pada usia bulan pertama tampak fleksid (lemas) dan berbaring
seperti kodok terlentang sehingga tampak seperti kelainan pada lower motor
neuron. Menjelang umur 1 tahun barulah terjadi perubahan tonus otot dari rendah
hingga tinggi. Bila dibiarkan berbaring tampak fleksid dan sikapnya seperti
kodok terlentang, tetapi bila dirangsang atau mulai diperiksa otot tonusnya
berubah menjadi spastis, Refleks otot yang normal dan refleks babinski negatif,
tetapi yang khas ialah reflek neonatal dan tonic neck reflex menetap. Kerusakan
biasanya terletak di batang otak dan disebabkan oleh afiksia perinatal atau
ikterus.
3. Koreo-atetosis
Kelainan
yang khas yaitu sikap yang abnormal dengan pergerakan yang terjadi dengan
sendirinya (involuntary movement). Pada 6 bulan pertama tampak flaksid,
tetapi sesudah itu barulah muncul
kelainan tersebut. Refleks neonatal menetap dan tampak adanya perubahan tonus
otot. Dapat timbul juga gejala spastisitas dan ataksia, kerusakan terletak di ganglia basal disebabkan oleh
asfiksia berat atau ikterus kern pada masa neonatus.
4. Ataksia
Ataksia
adalah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini biasanya flaksid dan
menunjukan perkembangan motorik yang lambat. Kehilangan keseimbangan tampak
bila mulai belajar duduk. Mulai berjalan sangat lambat dan semua pergerakan
canggung dan kaku. Kerusakan terletak di serebelum.
5. Gangguan pendengaran
Terdapat
5-10% anak dengan serebral palsi. Gangguan berupa kelainan neurogen terutama
persepsi nada
tinggi, sehingga sulit menangkap kata-kata. Terdapat pada golongan
koreo-atetosis.
6. Gangguan bicara
Disebabkan
oleh gangguan pendengaran atau retradasi mental. Gerakan yang terjadi dengan
sendirinya di bibir
dan lidah menyebabkan sukar mengontrol otot-otot tersebut sehingga anak sulit
membentuk kata-kata dan sering tampak anak berliur.
7. Gangguan mata
Gangguan
mata biasanya berupa strabismus konvergen dan kelainan refraksi pada keadaan asfiksia yang berat
dapat terjadi katarak.
8. Paralisis
Dapat
berbentuk hemiplegia, kuadriplegia, diplegia, monoplegia, triplegia. Kelumpuhan
ini mungkin bersifat flaksid, spastik atau campuran.
9. Gerakan involunter
Dapat
berbentuk atetosis, khoreoatetosis, tremor dengan tonus yang dapat bersifat
flaksid, rigiditas, atau campuran.
10. Kejang
Dapat
bersifat umum atau fokal.
11. Gangguan
perkembangan mental
Retardasi
mental ditemukan kira-kira pada 1/3 dari anak dengan cerebral palsy terutama
pada grup tetraparesis, diparesis spastik dan ataksia. Cerebral palsy yang
disertai dengan retardasi mental pada umumnya disebabkan oleh anoksia serebri
yang cukup lama, sehingga terjadi atrofi serebri yang menyeluruh. Retardasi
mental masih dapat diperbaiki bila korteks serebri tidak mengalami kerusakan
menyeluruh dan masih ada anggota gerak yang dapat digerakkan secara volunter.
Dengan dikembangkannya gerakan-gerakan tangkas oleh anggota gerak, perkembangan
mental akan dapat dipengaruhi secara positif.
12. Problem
emosional terutama pada saat remaja.
G. Klasifikasi
dan Gejala
Klasifikasi Cerebral palsy dibagiberdasarkan
1.
Dilihat dari sudut
pergerakan otot-otot
Dalam kategori ini, Cerebral palsy dibagi
menjadi 5, yaitu :
a. Jenis Spastis
Perkataan “Spastic”
dapat diganti dalam bahasa Belanda, dengan “Kramp” kalua dalam bahasa Indonesia
yang mendekati “kejang”. Pada anak yang menderita Cerebral Palsy dengan jenis
Spastic terdapat kekejangan pada otot-ototnya atau sebagian dari otot-ototnya.
Kekejangan tadi terutama timbul kalau otot akan digerakkan dan dapat hilang
pada waktu anak tidur. Misalnya: kalau lutut anak tadi sekonyong-konyong hendak
kita luruskan, maka terasa bahwa otot tadi menjadi kejang, sehingga sukar
diluruskan. Akan tetapi, kalau anak tadi tidur maka lutut dengan mudah
diluruskan. Pada umumnya kekejangan-kekejangan tadi menjadi main hebat jikalau
anak marah atau takut/anak tidak tenang. Karena itu, pada umumnya melatih anak
cacat Cerebral Palsy haruslah dalam suasana ketenangan. Jenis “Spastic”
merupakan jenis Cerebral Palsy yang terbanyak jumlahnya diantara jenis-jenis
lainnya
b. Jenis Athetoid
Pada jenis ini tidak
terdapat kekejangan atau kekakuan, otot-ototnya dapat digerakkan dengan mudah,
akan tetapi jenis ini selalu terdapat gerakan-gerakan yang tidak dapat dicegah
oleh anak sendirian yang tiap-tiap waktu datang. Misalnya: Anak tidak dapat
memegang salah satu barang, oleh karena tangan dan jari-jarinya selalu bergerak
sendiri yang tidak dapat dicegah. Jenis Athetoi dini meskipun jumlahnya tidak
terlalu banyak tapi merupakan cacat yang sangat sukar diperbaiki.
Gerakan-gerakan akan berkuarang kalau anak tadi dalam keadaan tenang atau
sedang tidur. Gerakan-gerakan otomatis tadi selain pada tangan dan kaki juga
terdapat pada lidah, bibir, mata, dan sebagainya.
c. Ataxia
Pada jenis ini anak
seakan-akan kehilangan perasaan keseimbangan. Walaupun otot-ototnya tidak kaku,
namun anak kadang-kadang tidak dapat berdiri atau berjalan. Karena anak tadi
tidak dapat meletakkan badannya dalam keseimbangan, maka ia selalu akan jatuh.
Kalau ia berjalan maka jalannya seperti orang mabuk, kadang-kadang langkahnya
terlalu lebar atau bisa juga langkahnya terlalu pendek. Kalau anak misalnya
mengambil barang, maka juga salah perhitungan, misalnya: jaraknya terlampau
jauh, sehingga melewati barang yang akan diambil atau terlalu pendek sehingga
belum sampai pada barang yang akan diambil. Pada jenis Ataxia ini merupakan
jenis cacat yang berat.
d. Tremor
Pada jenis ini selalu
terdapat gerakan-gerakan kecil terus-menerus, sehingga merupakan getaran.
Getaran tadi dapat juga sangat mengganggu fungsi anak. Kadang-kadang terdapat
getaran-getaran yang mengenai mata, sehinnga
matanya selalu bergerak. Bisa juga getaran tadi terdapat pada kepala, atau
padatangan yang selalu gemetar.
e. Rigid
Pada jenis ini terdapat
otot-otot yang selalu kaku, seakan-akan bukan merupakan daging, akan tetapi
sebagai benda yang agak kaku. Misalnya seperti mesin yang tidak ada gemuknya,
kalau digerakkan kelihatan selalu ada remnya, sehingga gerakannya selalu tidak
dapat lemah dan tidak dapat halus dan tidak cepat. Selain itu, terdapat pula
campuaran antara jenis yang satu dengan jenis yang lainnya. Misalnya: Jenis
athetoid bercampur dengan jenis tremor, dan sebagainya.
2.
Pembagian menurut jumlah
anggota badan yang cacat
a. Monoplegia
Merupakan cacat Cerebral
palsy yang hanya mempunyai cacat pada sebuah dari anggota geraknya. Misalnya
hanya kaki kiri sedangkan kaki kanannya dan kedua tangannya sehat.
b. Diplegia
Pada diplegia terdapat
dua anggota gerak yang dalam keadaan cacat. Kalau pada diplegia ini terdapat
cacat pada kedua belah kakinya, maka cacat ini dinamakan Paraplegia. Jikalau
yang cacat sebelah dari anggota geraknya misalnya tangan kanan dan kaki kanan
atau tangan kiri dengan kaki kiri, maka disebut hemiplegia.
c. Triplegia
Pada triplegia maka
cacat 3 buah dari keempat anggota geraknya.
d. Quadriplegia atau
tetraplegia
Dalam golongan ini termasuk anak-anak
Cerebral Palsy yang cacat pada seluruh anggota geraknya. Jadi cacat pada kedua
tangan dan kedua kakinya.
3.
Pembagian Cerebral Palsy
menurut derajat berat, sedang, dan ringannya sebagai berikut :
a. Golongan ringan
Tidak memerlukan pertolongan karena anak tadi dapat
mengurus dirinya sendiri dalam kehidupan sehari – hari, dapat bergerak (jalan)
tanpa alat – alat dan dapat berbicara tegas.
b. Golongan sedang
Anak – anak yang memerlukan pertolongan khusus, agar anak
tadi dapat mengurus dirinya sendiri, dapat bergerak dan dapat berbicara.
Mungkin untuk anak ini diperlukan alat – alat khusus misalnya brace untuk
memperbaiki cacadnya. Dengan pertolongan secara khusus masih dapat diharapkan bahwa anak
akan dapat mengurus dirinya sendiri, dapat berjalan dan dapat berbicara
sehingga akan dapat hidup di tengah – tengah masyarakat.
c. Golongan berat
Anak – anak cerebral palsy yang mempunyai cacad
sedemikian rupa sehingga anak tak mungkin dapat hidup tanpa pertolongan orang
lain. Akan tetapi yang paling sukar ialah
menentukan apakah seorang anak cerebral palsy masuk golongan ringan, apakah
masuk golongan sedang dan apakah masuk golongan berat.
Tidak mudah untuk menentukan apakah bayi yang diperiksa
mempunyai cacad atau tidak. Kalau bayi sudah mencapai umur satu tahun atau
lebih, maka cacadnya akan lebih mudah dilihat. Akan tetapi pada bayi di bawah umur satu
tahun kadang – kadang sangat sukar untuk menentukan apakah bayi tadi sehat atau
mempunyai cacad.
Maka kita perlu
mengetahui bagaimana sifat – sifat bayi yang sehat, supaya kita dapat
membedakan dengan bayi yang mungkin mempunyai cacad.
1.
Dari lahir
sampai umur 4 minggu
Pada umur ini umumnya bayi masih lemah dan segala –
galanya masih memerlukan pertolongan, namun bayi yang sehat pada umumnya
kelihatan bersemangat kelihatan
menunjukan reaksi jika di pegang dan kelihatan dapat aktif minum tetek. Adanya
cacad dapat di buka jika misalnya bayi
kelihatan lemah, tidak bersemangat,
meneteknya kurang aktif, pernapasanya lemah, menangisnya lembek, adanya setuip
(kejang), banyak muntah – muntah, bersifat acuh – tak acuh terhadap ibunya. Tanda – tanda
tadi dapat merupakan tanda – tanda kemungkinan adanya cacad serebral palsy.
2.
Umur 1 bulan –
2 bulan
Pada umur ini bayi menunjukan
gerak yang aktif pada kepalanya, jika ada suara misalnya permainan atau
panggilan dari ibunya atau suara
–suara lain maka kepalanya berputar kearah suara tadi dan pada umumnya kedua
tangannya dibengkokkan dan kakinya diluruskan. Gerakan tersebut merupakan gerakan pada bayi yang sehat.
Jika gerak tersebut tidak terdapat maka kemungkinan bayi tersebut cacad
serebral palsy.
3.
Umur 2 bulan –
4 bulan
Pada umur ini bayi telah dapat
menunjukkan ekspresi atau pernyataan dengan mukanya dari gerak muka kita dapat
mengetahui keadaan bayi tadi, misalnya mulai tersenyum atau tertawa, menangis
atau bersungut. Dapat pula mengarahkan padangan matanya pada suatu benda yang
bergerak. Jika tanda – tanda tersebut tidak di dapat maka kemungkinan
bayi menpunyai cacad serebral palsy.
4.
Umur 4 bulan –
8 bulan
Pada umur ini bayi kelihatan sudah
dapat menguasai letak dan gerak kepalanya. Misalnya kalau ia didudukan, maka
kepalanya tidak akan jatuh dan kepala tadi dapat digerakkan ke kanan dan kiri
secara aktif. Anak tersebut juga belajar mengulurkan tangannya untuk memegang salah satu
benda. Ia mulai dapat mengeluarkan beberapa perkataan. Ia mulai dapat sungguh –
sungguh tertawa dan menaruh perhatian sekelilingnya. Jika pada umur tadi kepalanya
masih lemah matanya tidak dapat memandang dengan tegas, ibu jarinya selalu di
tekan ke dalam kepalan ke 4 jarinya, maka hal – hal tadi merupakan tranda –
tanda adanya cacad serebral palsy.
5.
Umur 8 – 10
bulan
Pada umur 8 bulan bayi sudah dapat
berbalik- balik dari tertelungkup ke terlentang, serta sebaliknya. Dan ia sudah
dapat duduk tanpa di pegang. Dia mulai belajar merangkak, ia dapat memegang
benda dengan tepat, dan membawa benda yang di pegang ke dalam mulutnya. Dan
dapat memindahkan benda yang di pegang dari tangan satu ke tangan yang lainnya.
Ia dapat menirukan suara – suara, dapat mengenal ibu dan ayahnya. Dan ia dengan
aktif menginginkan makanannya. Jika tidak ada tanda –tanda tersebut maka kemungkinan ada cacad
serebral palsy.
6.
Umur 10 bulan –
1 tahun
Pada umur ini anak sudah dapat duduk
dengan sempurna, ia dapat duduk sendiri dari berbaring. Ia telah dapat makan –
makanan yang telah ada dalam tangannya dan juga telah dapat memegang botol minumannya. Ia
dapat mengucapkan dengan spontan beberapa perkataan misalnya ibu, bapak dan
lain – lain. Ia dapat didirikan meskipun masih dengan layanan. Jikalau pada
umur 10 bulan tadi kakinya kelihatan terseret jika merangkak, atau jika kakinya
lurus pada waktu coba didirikan, atau dari mulutnya selalu keluar ludah
sehingga pakainya terus basah dan ia belum dapat makan – makanan yang keras
misalnya roti, maka hal – hal tadi dapat merupakan tanda – tanda kemungkinan
adanya cacad serebral palsy.
7.
Umur 1 tahun
Pada umur 1 tahun anak telah mulai
belajar berjalan dan pada umumnya dalam umur 15 bulan sudah dapat berjalan
sendiri. Ia telah dapat pula memegang benda – benda yang kecil diantara ibu
jari dan jari telunjuk. Sudah tentu jalannya belum tetap, akan tetapi makin
lama makin baik. Memang sesungguhnya sukar untuk menetapkan apakah ada cacad
cerebral palsy sebelum anak mencapai umur yang dapat menentukan bahwa ia dapat
berjalan dengan tetap.
Setelah
anak menjadi besar misalnya diatas 2 tahun ke atas, maka tanda-tanda menjadi
lebih tampak dan akan bersifat menurut jenis-jenis cacad cerebral palsy
sebagaimana telah diuraikan dimuka. Anak makin menjadi besar, makin terang
tampak tanda-tanda cacad pada cerebral palsy. Namun demikian kadang-kadang
masih perlu pemeriksaan dokter yang lebih teliti dan pula kadang-kadang masih
perlu observasi beberapa waktu untuk dapat menetapkan ada atau tidaknya cacad,
jenis cacad, dan berat cacad.
H. Komplikasi
1. Ataksi
2. Katarak
3. Hidrosepalus
4. Retardasi Mental
IQ dibawah 50, berat/beban dari otak motoriknya IQ rendah, dengan suatu
ketegangan [menyangkut] IQ yang yang lebih rendah.
5. Strain/ketegangan
Lebih
sering pada qudriplegia dan hemiplegia
6. Pinggul Keseleo/Kerusakan
Sering
terjadi pada quadriplegia dan paraplegia berat.
7. Kehilangan sensibilitas
Anak-anak
dengan hemiplegia akan kehilangan sensibilitas.
8. Hilang pendengaran
Atrtosis
sering terjadi terpasang, tetapi bukan pada anak spaskis.
9. Gangguan visual
Bermata
juling, terutama pada anak-anak prematur dan quadriplegia.
10. Kesukaran
untuk bicara
Penyebab:
disartria, Retardasi mental, hilang pendengaran, atasi kortikal, gangguan
emosional dan mungkin sebab gejala lateralisasi pada anak hemiplagia.
11. Lateralisasi
Dominan
pada anak yang normal nya dan yang di/terpengaruh oleh gejala hemiplegia,
kemudian akan ada berbagai kesulitan untuk pindah;gerakkan pusat bicara
12. Inkontinensia
RM,
dan terutama oleh karena berbagai kesulitan pada pelatihan kamar kecil.
13. Penyimpangan
Perilaku
Tidak
suka bergaul, dengan mudah dipengaruhi dan mengacaukan
ketidaksuburan/kemandulan.
I. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan mata dan pendengaran segera dilakukan
setelah diagnosis sebral palsi ditegakkan.
2. Fungsi lumbal harus dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan penyebabnya suatu proses degeneratif. Pada serebral palsi. CSS
normal.
3. Pemeriksaan EKG dilakukan pada pasien kejang atau pada
golongan hemiparesis baik yang disertai kejang maupun yang tidak.
4. Foto rontgen kepala.
5. Penilaian psikologis perlu dikerjakan untuk tingkat
pendidikan yang dibutuhkan.
6. Pemeriksaan metobolik untuk menyingkirkan penyebablain
dari reterdasi mental.
J.
Penatalaksanaan/
Terapi
Untuk memperoleh hasil yang maksimal perlu kerjasama yang
baik, penderita CP perlu ditangani oleh suatu Team yang terdiri dari: dokter
anak, ahli saraf/neurolog, ahli jiwa/psikiater/psikolog, ahli bedah
tulang/ortopedi, ahli fisioterapi, occupational therapist, guru sekolah luar
biasa, orang tua penderita dan bila perlu ditambah dengan ahli mata, ahli THT,
perawat anak, pekerja sosial dan lain-lain.
a.
Medik
Pengobatan kausal tidak ada, hanya
simtomatik.
b.
Fisioterapi
Fisioterapi bertujuan untuk
mengembangkan berbagai gerakan yang diperlukan untuk memperoleh keterampilan
secara independent untuk aktivitas sehari-hari. Fisioterapi ini harus segera
dimulai secara intensif. Untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi
penderita sewaktu istirahat atau tidur. Bagi penderita yang berat dianjurkan
untuk sementara tinggal di suatu pusat latihan. Fisio terapi dilakukan
sepanjang hidup penderita. Selain fisio terapi, penderita CP perlu dididik
sesuai dengan tingkat inteligensinya, di Sekolah Luar Biasa dan bila mungkin di
sekolah biasa bersama-sama dengan anak yang normal.
c.
Tindakan bedah
Bila terdapat hipertonus otot atau
hiperspastisitas, dianjurkan untuk dilakukan pembedahan otot, tendon atau
tulang untuk reposisi kelainan tersebut. Pembedahan stereotatik dianjurkan pada
pasien dengan pergerakan koreotetosis yang berlebihan. Operasi bertujuan untuk
mengurangi spasme otot, menyamakan kekuatan otot yang antagonis, menstabilkan
sendi-sendi dan mengoreksi deformitas. Tindakan operasi lebih sering dilakukan
pada tipe spastik dari pada tipe lainnya. Juga lebih sering dilakukan pada
anggota gerak bawah dibanding dengan anggota gerak atas. Prosedur operasi yang
dilakukan disesuaikan dengan jenis operasinya, apakah operasi itu dilakukan
pada saraf motorik, tendon, otot atau pada tulang.
Pada beberapa kasus, untuk membebaskan
kontraktur persendian yang semakin memburuk akibat kekakuan otot, pembedahan
juga perlu dilakukan untuk memasang selang makanan dan untuk mengendalikan
refluks gastroesofageal.
d.
Obat-obatan
Pasien serebral palsi (CP) yang dengan
gejala motorik ringan adalah baik, makin banyak gejala penyertanya dan makin
berat gejala motoriknya makin buruk prognosisnya. Pemberian obat-obatan pada CP
bertujuan untuk memperbaiki gangguan tingkah laku, neuro-motorik dan untuk
mengontrol serangan kejang. Pada penderita CP yang kejang. pemberian obat anti kejang
menunjukkan hasil yang baik dalam mengontrol kejang, tetapi pada CP tipe
spastik dan atetosis obat ini kurang berhasil. Demikian pula obat
muskulorelaksan kurang berhasil menurunkan tonus otot pada CP tipe spastik dan
atetosis. Pada penderita dengan kejang diberikan maintenance anti kejang yang
disesuaikan dengan karakteristik kejangnya, misalnya luminal, dilantin dan
sebagainya. Pada keadaan tonus otot yang berlebihan, obat golongan benzodiazepine,
misalnya : valium, librium atau mogadon dapat dicoba. Pada keadaan
choreoathetosis diberikan artane. Tofranil (imipramine) diberikan pada keadaan
depresi. Pada penderita yang hiperaktif dapat diberikan dextroamphetamine 5-10
mg pada pagi hari dan 2,5 -- 5 mg pada waktu tengah hari.
e.
Reedukasi dan
rehabilitasi.
Dengan adanya kecacatan yang bersifat
multifaset, seseorang penderita CP perlu mendapatkan terapi yang sesuai dengan
kecacatannya. Evaluasi terhadap tujuan perlu dibuat oleh masing-masing
terapist. Tujuan yang akan dicapai perlu juga disampaikan kepada orang
tua/famili penderita, sebab dengan demikian ia dapat merelakan anaknya mendapat
perawatan yang cocok serta ikut pula melakukan perawatan tadi di lingkungan
hidupnya sendiri.
Di Sekolah Luar Biasa dapat dilakukan
speech therapy dan occupational therapy yang disesuaikan dengan keadaan
penderita. Mereka sebaiknya diperlakukan sebagai anak biasa yang pulang ke
rumah dengan kendaraan bersanrm-sama sehingga tidak merasa diasingkan, hidup
dalam suasana normal. Orang tua janganlah melindungi anak secara berlebihan dan
untuk itu pekerja sosial dapat membantu di rumah dengan melihat seperlunya.
f.
Psiko terapi
untuk anak dan keluarganya.
Oleh karena gangguan tingkah laku dan
adaptasi sosial sering menyertai CP, maka psiko terapi perlu diberikan, baik
terhadap penderita maupun terhadap keluarganya.
g.
Tindakan
keperawatan
1)
Mengobservasi
dengan cermat bayi-bayi baru lahir yang beresiko (baca status bayi secara cermat mengenai riwayat
kehamilan/kelahirannya). Jika dijumpai
adanya kejang atau sikap bayi yang tidak biasa pada neonatus segera
memberitahukan dokter agar dapat dilakukan penanganan semestinya.
2)
Jika telah
diketahui bayi lahir dengan resiko terjadi gangguan pada otak walaupun selama
di ruang perawatan tidak terjadi kelainan agar dipesankan kepada
orangtua/ibunya jika melihat sikap bayi tidak normal.
h.
Pengobatan yang
dilakukan biasanya tergantung kepada gejala dan bisa berupa : Terapi fisik,
Loraces (penyangga), Kaca mata, Alat bantu dengar, Pendidikan dan sekolah
khusus, Obat anti kejang, Obat pengendur otot (untuk mengurangi tremor dan
kekakuan) : baclofen dan diazepam, Terapi okupasional, Bedah ortopedik / bedah
saraf, untuk merekonstruksi terhadap deformitas yang terjadi, Terapi wicara
bisa memperjelas pembicaraan anak dan membantu mengatasi masalah makan.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
CEREBRAL PALSY
A. Pengkajian
1. Biodata
a. Laki-laki lebih banyak dari pada wanita.
b. Sering terjadi pada anak kesulitan pada waktu
melahirkan.èpertama
c. Kejadin lebih tinggi pada bayi BBLR dan kembar.
d. Umur ibu lebih dari 40 tahun, lebih-lebih pada
multipara.
2. Kaji riwayat kehamilan ibu
3. Riwayat kesehataan yang berhubungan dengan factor
prenatal, natal dan post natal serta keadaan sekitar kelaahiran yang
mempredisposisikan anoksia janin.
4. Kaji
iritabel anak, kesukaran dalam makan, perkembangan terlambat, perkembangan
pergerakan kurang, postur tubuh yang abnormal, refleks bayi yang persisten,
ataxic, kurangnya tonus otot.
5. Monitor respon untuk bermain
6. Kapasitas fungsi intelektual anak
7. Pemeriksaan Fisik
a. Muskuluskeletal :
1) spastisitas
2) ataksia
b. Neurosensory :
1) gangguan menangkap suara tinggi
2) gangguan bicara
3) anak berliur
4) bibir dan lidah terjadi gerakan dengan sendirinya
5) strabismus konvergen dan kelainan refraksi
c. Eliminasi : konstipasi
d. Nutrisi : intake yang kurang
8. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang
a. Pemeriksaan pendengaran (untuk menetukan status
pendengaran)
b. Pemeriksaan penglihatan (untuk menentukan status
fungsi penglihatan)
c. Pemeriksaan serum, antibody : terhadap rubela, toksoplasmosis
dan herpes
d. MRI kepala / CT scan menunjukkan adanya kelainan
struktur maupun kelainan bawaaan : dapat membantu melokalisasi lesi, melihat
ukuran / letak ventrikel.
e. EEG : mungkin terlihat gelombang lambat secara fokal
atau umum (ensefalins) / volsetasenya meningkat (abses)
f. Analisa kromosom
g. Biopsi otot
h. Penilaian
psikologik
B. Diagnosa
Keperawatan
1.
Pola nafas
tidak efektif b/d ketidakefektifan bersihan jalan nafas
2.
Ketidak
seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d factor biologis, disfagia
sekunder terhadap gangguan motorik mulut/ kesukaran menelan dan meningkatnya
aktivitas
3.
Gangguan
aktivitas b/d kelainan gerakan dan postur tubuh yang tidak progresif
4.
Kerusakan komunikasi
verbal b/d kerusakaan kemampuan untuk mengucap kata-kata yang berhubungan
dengan keterlibatan otot-otot fasial sekunder adanya rigiditas.
5.
Kurangnya
pengetahuan b/d perawatan dirumah dan kebutuhan terapi
6.
Resiko cidera b/d gangguan fungsi motorik,
ketidak mampuan mengontrol gerakan sekunder terhadap spastisitas.
7.
Resiko tinggi
kerusakan integritas kulit b/d imobilitas.
C.
Rencana
Keperawatan
1.
Pola nafas
tidak efektif berhubungan dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas
Tujuan:
a)
Respirasi rate
normal
b)
Klien mudah
untuk bernafas
c)
Pengeluaran
udara paksa tidak terjadi
d)
Penggunaan otot
tambahan tidak terjadi
e)
Tidak terjadi
dispnea
f)
Kapasitas vital
normal
Intervensi:
a)
Aturlah posisi
dengan memungkinkan ekspansi paru maksimum dengan semi powler/kepala agak
tinggi jurang lebih 30 derajat
b)
Berikan bantal
atau sokongan agar jalan nafas memungkinkan tetap terbuka.
c)
Berikan oksigen
sesuai dengan kebutuhan anak.
d)
Berikan atau
tingkatkan istirahat dan tidur sesuai dengan kebutuhan klien atau dengan jadwal
yang tepat.
e)
Berikan
penyebab untuk melancarkan jalan nafas.
f)
Monitor
pernafasan, irama, kedalama dan memantau saturasi oksigen.
2.
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan factor biologis, disfagia
sekunder terhadap gangguan motorik mulut/ kesukaran menelan dan meningkatnya
aktivitas
Tujuan :
setelah
dilaksanakan perawatan, klien diharapkan nutrisi menjadi adekuat, Anak
berpartisipasi dalam aktivitas makan sesuai kemampuannya, Anak mengkonsumsi
jumlah yang cukup
Kriteria hasil :
adanya kemajuan
peningkatan berat badan, tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi
Intervensi :
a)
Monitor status
nutrisi pasien, pantau berat badan dan pertumbuhan
R/ intervensi pemberian nutrisi tambahan dapat
diimpementasikan bila pertumbuhan mulai melambat dan berat badan menurun
b)
Monitor
pemasukan nutrisi dan kalori serta pengeluaran
c)
Catat adanya
anoreksia , muntah dan terapkan jika ada hubungan dengan medikasi
d)
Perkaya makanan
dengan suplemen nutrisi mis.susu bubuk atau suplemen yang lain
R/ memaksimalkan kualitas asupan makanan
e)
Ajarkan pola
makan yang teratur
R/ Memberikan intake yang adekuat dan menghindari
terjadinya komplikasi / memperberat penyakit lebih lanjut
f)
Baringkan
pasien dengan kepala tempat tidur 30-45 derajat, posisi duduk dan menegakkan
leher
R/ posisi ideal saat makan sehingga menurunkan resiko
tersedak
g)
Pertahankan
kebersihan mulut anak, Beri makanan yang disukai anak
R/ Meningkat kerja sistem endorphin sehingga meningkatkan
kemauan untuk makan
h)
Kolaborasi
dengan ahli gizi untuk menentukan nutrisi dan kalori agar BB naik
R/ Meningkatkan gizi anak
3.
Gangguan aktivitas
b/d kelainan gerakan dan postur tubuh yang tidak progresif
Tujuan :
setelah
dilaksanakan perawatan, tidak terjadi gangguan aktivitas lagi.
Kriteria hasil :
aktivitas
berjalan normal dan tidak ada keluhan terhadap gerakan yang dilakukan
Intervensi :
a)
Berikan
aktifitas ringan yang dapat dikerjakan anak
b) Libatkan anak
dalam mengatur jadwal harian dan memilih aktifitas yang diinginkan
R/ Anak dapat meningkatkan kemampuan yang dimiliki
anaknya walaupun terbatas
c)
Kolaborasi
dengan ahli fisioterapi
R/ Membantu pemenuhan kebutuhan
d)
Anjurkan
keluarga turut membantu program latihan di rumah
4.
Kerusakan
komunikasi verbal b/d kerusakaan kemampuan untuk mengucap kata-kata yang
berhubungan dengan keterlibatan otot-otot fasial sekunder adanya rigiditas.
Tujuan :
Klien
melakukaan proses komunikasi dalam batas kerusakan.
Intervensi :
a)
Beri tahu ahli
terapi wicara dengan lebih dini
R/ sebelum anak mempelajari kebiasaan komunikasi yang
buruk.
b)
Bicara pada
anak dengan perlahan
R/ memberikan waktu pada anak untuk memahami pembicaraan
c)
Gunakan artikel
dan gambar
R/ menguatkan bicara adaan mendorong pemahaman
d)
Gunakan teknik
makan
R/ membantu memudahkan bicara seperti menggunakan bibir,
gigi dan berbagai gerakan lidah.
e)
Ajari dan
gunakan metode komunikasi non-verbal (mis.,bahasa isyarat) untuk anak dengan
disartria berat.
f)
Bantu keluarga
mendapatkan alat elektronik untuk memudahkan komunikasi non-verbal (mis., mesin
tik, microkomputer dengan pengolah suara).
5.
Kurangnya
pengetahuan b/d perawatan dirumah dan kebutuhan terapi
Tujuan :
setelah
dilaksanakan perawatan, diharapkan pengetahuan akan perawatan dan terapi
meningkat.
Kriteria hasil :
a)
Menyatakan
pemahaman terhadap perawatan dirumah dan kebutuhan terapi
b)
Melakukan
perilaku / perubahan pola hidup untuk memperbaiki status kesehatan
c)
Kebutuhan
terapi dapat dipenuhi
Intervensi :
a)
Berikan
informasi dalam bentuk-bentuk dan segmen yang singkat dan sederhana
R/ Menurunnya rentang perhatian pasien dapat menurunkan
kemampuan untuk menerima / memproses dan mengingat / menyimpan informasi yang
diberikan
b)
Diskusikan
mengenai kemungkinan proses penyembuhan yang lama
R/ Proses pemulihan dapat berlangsung dalam beberapa
minggu / bulan dan informasi yang tepat mengenai harapan dapat menolong pasien
untuk mengatasi ketidakmampuannya dan juga menerima perasaa tidak nyaman yang
lama
c)
Berikan
informasi tentang kebutuhan untuk diet tinggi protein / karbohidrat yang dapat
diberikan / dimakan dalam jumlah kecil tetapi sering
R/ Meningkatkan proses penyembuhan, makan-makanan jumlah
kecil tetapi sering akan memerlukan kalori yang sedikit pada proses
metabolisme, menurunkan iritasi lambung dan mungkin juga meningkatkan pemasukan
secara total
6.
Resiko cidera
b/d gangguan fungsi motorik, ketidak mampuan mengontrol gerakan sekunder
terhadap spastisitas.
Tujuan :
setelah
dilaksanakan perawatan, diharapkan berkurangnya resiko cidera. Klien tidak
mengalami cedera fisik.
Kriteria hasil :
a)
menyatakan
pemahaman faktor yang menyebabkan cidera
b)
menunjukkan
perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan faktor resiko dan untuk
melindungi diri dari cidera.
Intervensi :
a)
Ajarkan gerakan
Px dalam melaksanakan ADL
R/ Mengurangi terjadinya cidera yang dapat memperparah
kondisi Px
b)
Bantu Px untuk
memenuhi kebutuhannya
R/ Anak mempunyai banyak kebutuhan yang tidak dapat
dilakukan sendiri karena keterbatasan
c)
Perhatikan
posisi penderita pada waktu istirahat / tidur
R/ Untuk mencegah kontraktor
d)
Berikan
lingkungan fisik yang aman : Beri bantalan pada perabot.
R/ untuk perlindungan.
e)
Pasang pagar
tempat tidur.
R/ untuk mencegah jatuh.
f)
Kuatkan perabot
yang tidak licin.
R/ untuk mencegah jatuh.
g)
Hindari lantai
yang disemir dan permadani yang berantakan.
R/ untuk mencegah jatuh.
h)
Pilih mainan
yang sesuai dengan usia dan keterbatasan fisik.
R/ untuk mencegah cedera.
i)
Dorong
istirahat yang cukup.
R/ karena keletihan dapat meningkatkan resiko cedera.
j)
Gunakan
restrein bila anak berada dikursi atau kendaraan.
k)
Lakukan teknik
yang benar untuk menggerakkan, memindahkan daan memanipulasi bagian tubuh yang
paralisis.
l)
Implementasikan
tindakan keamanan yang tepat untuk mencegah cedera termal.
R/ terdapat kehilangan sensasi pada area yang sakit.
m)
Berikan helm
pelindung pada anak yang cenderung jatuh dan dorong untuk menggunakannya.
R/ mencegah cedera kepala.
n)
Berikan obat
anti epilepsi sesuai ketentuan.
R/ mencegah kejang
7.
Resiko tinggi
kerusakan integritas kulit b/d imobilitas
Tujuan :
Klien
mempertahankan integritas kulit.
Intervensi :
a)
Kaji kulit
setiap 2 jam dan prn terhadap area tertekan, kemerahan dan pucat.
R/ pengkajian yang tepat dan lebih dini akan cepat pula
penanganan terbaik pada masalah yang terjadi pada klien
b)
Tempatkan anak
pada permukaan yang mengurangi tekanan
R/ mencegaah kerusakan jaringan dan nekrosis karena
tekanan
c)
Ubah posisi
dengan sering, kecuali jika dikontraindikasikan
R/ mencegah edema dependen dan merangsang sirkulasi
d)
Lindungi
titik-titik tekanan (misalnya : trikanter, sakrum, pergelangaan kaki,bahu dan
oksiput)
e)
Pertahankan
kebersihan kulit dan kulit dalam keadaan kering
f)
Berikan cairan
yang adekuat untuk hidrasi
g)
Berikan masukan
makanan dengan jumlah protein dan karbohidrat yang adekuat.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, I Made Oka.
2007. Cerebral Palsy Ditinjau dari Aspek Neurologi.
Available from: http://www.cerminduniakedokteran.com . (Diunduh pada tanggal 15 januari 2014)
Anggra. 2009. Cerebral palsi. Available from: http://sugengrawuh.blogspot.com. (Diunduh pada tanggal 15 januari 2014)
Carpenito, Lynda
Juall. (2009.). Diagnosa
Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis, Edisi 9, hlm 1393.
Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Eaton, Marilyn, dkk.
2009. Buku Ajar Keperawatn Pediatrik, Volume 2. Jakarta:
EGC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar