BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada
kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak
memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau
disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama
kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab seperti
hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus non-fisiologis). Ikterus
neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi
dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus.
Pada neonatus
produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal.
Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan
usianya lebih pendek. Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan
berat lahir < 2500 g atau usia gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada
minggu pertama kehidupannya.
Data epidemiologi
yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang
dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Berbagai
teknik diagnostik telah digunakan untuk menilai ikterus pada bayi baru lahir. Pemeriksaan langsung secara visual tidak dapat dipercaya
sepenuhnya dan dapat menyebabkan kesalahan diagnosis. Metode pemeriksaan
non-invasif lain seperti transcutaneus bilirubinometry (TcB) merupakan
alternatif pemeriksaan (skrining) pengukuran bilirubin serum. Pengukuran
bilirubin serum dianggap sebagai metode paling tepercaya, tetapi memiliki
keterbatasan karena bersifat invasif dan juga keterbatasan dalam hal peralatan
dan biaya.
RSUD Banyumas dalam bulan Desember terdapat >10 kasus hiperbillirubin. Selama praktek di RSUD
Banyumas selama 2 minggu terdapat 8 kasus
hiperbillirubin dimana semuanya mendapat
terapi fototerapi. Dalam pelaksanaan managemen hiperbillirubin RSUD Banyumas
mempunyai standar paduan klinis yang hampir sama dengan standar tata laksana
hiperbillirubinemia yang dikeluarkan oleh American
Association of Pediatric. Meskipun memiliki prinsip dasar kerja yang sama
namun secara teknis terdapat perbedaan dalam pelaksanaan managemen pasien
hiperbillirubinemia yang dilakukan oleh RSUD Banyumas dengan tata laksana
hiperbillirubinemia yang dikeluarkan oleh American
Association of Pediatric.
Pada
management kontrol laboraturium, prosedur yang digunakan RSUD Banyumas adalah
mengecek TSB ulang setelah pemberian fototerapi pada prosedur yang dikeluarkan
oleh American Association of Pediatric, pengecekan
ulang TSB diakukan 4 – 24 jam selama
terapi namun pada pengambilan TSB tidak di bandingkan satu
area dengan area lainnya.
Lama pengecekan ulang TSB tergantung pada kondisi klien dan level TSB
klien sebelumnya. Sampai saat ini belum ada keseragaman tata laksana ikterus
neonatorum di Indonesia. Kadar serum bilirubin untuk memulai masing-masing
jenis terapi (terapi sinar, transfusi tukar, obat-obatan) masih menjadi
pertanyaan.
Pada managemen
pencegahan primer RSUD Banyumas telah berupaya mempromosikan mengenai
pentingnya ASI Eksklusif lewat beberapa poster-poster dan anjuran yang banyak
terpasang di ruangan. Masalah support breast feeding muncul ketika ditemukan
beberapa kasus ibu tidak efektif dalam menyusui anaknya karena ASI tidak
keluar, langkah yang belum dilakukan oleh pihak
ruangan adalah dengan management edukasi terprogram pijatan
oksitosin kepada ibu-ibu.
Mengingat
pentingnya ASI pada bayi dengan hiperbilluribinemia dan merupakan salah fokus
utama dalam penurunan angka hiperbillirubinemia, serta perbedan beberapa
prosedur yang berbeda dalam tata laksana hiperbillirubinemia, penulis
mengangkat jurnal “Management of
Hyperbillirubinemia in the Newborn Infant 35 or more Weeks of Gestation”.
Diharapkan jurnal ini mampu mengatasi masalah management hiperbillirubinemia di
RSUD Banyumas.
B.
Tujuan
1. Menganalisa perbedaan penerapan tata laksana
hiperbillirubinemia di RSUD Banyumas dan tata laksana hiperbillirubinemia yang
dikeluarkan oleh American Association of
Pediatric.
2. Pihak Rumah
sakit bekerjasama dengan pihak akademik untuk mempromosikan breasfeeding
sebagai pencegahan primer untuk mengurangi angka kejadian hiperbillirubinemia
3. Bagi
Masyarakat, mengetahui pentingnya memberikan ASI kepada bayi sehingga
masyarakat mampu memberikan ASI Esklusif kepada bayi
BAB II
RESUME JURNAL
A.
Penegakan
Diagnosa
1.
Metode Visual
Visual Metode
visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan
apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit
berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode
visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat masih
boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera
dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut. WHO dalam panduannya
menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:
·
Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan
yang cukup (di siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat
lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada
pencahayaan yang kurang.
·
Tekan kulit bayi dengan lembut dengan
jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.
·
Tentukan keparahan ikterus
berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning.
2.
Bilirubin Serum
Pemeriksaan
bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum
serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang
perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah
tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan
morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Sampel
serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil) Beberapa senter
menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20
mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.
B. Paduan klinis tatalaksana Ikterus neonaturum
|
|

|
![]() |
|
|
![]() |
|||
![]() |
|
|




![]() |
C.
Faktor risiko
hiperbilirubinemia
1.
Faktor risiko hiperbilirubinemia Mayor
·
Hasil pemeriksaan TSB atau TcB pada
zone risiko tinggi
·
Ikterus muncul pada 24 jam pertama
kehidupan
·
Inkompatibilitas golongan darah
·
Usia gestasi 35-36 minggu
·
Riwayat saudara kandung menerima
terapi sinar
·
Hematoma sefal atau memar luas
·
ASI eksklusif, terutama jika ASI
tidak lancar, dan kehilangan berat badan.
·
Ras Asia timur
2. Faktor risiko hiperbilirubinemia Minor
·
Hasil pemeriksaan TSB atau TcB pada
zone risiko sedang
·
Usia gestasi 37-38 minggu
·
Ikterus muncul sebelum dipulangkan.
·
Saudara kandung mengalami ikterus
neonatorum
·
Makrosomia dengan ibu diabetes
·
Usia ibu > 25 tahun
·
Bayi laki-laki
3. Faktor Risiko rendah
·
TSB atau TcB pada zone risiko rendah
·
Usia gestasi > 41 minggu
·
Susu botol eksklusif
·
Kulit hitam (ditentukan warna kulit
ibu)
·
Pulang dari RS setelah 72 jam

Gambar 1. Nomogram dibuat
berdasarkan pemeriksaan 2830 bayi baru lahir usia gestasi 36 minggu atau lebih,
dengan berat lahir 2000g atau lebih; atau 35 minggu atau lebih dengan berat
lahir 2500g atau lebih, dari pemeriksaan serum bilirubin tiap jam. Bilirubin
serum diperiksa sebelum bayi dipulangkan.

Gambar 2. Pedoman terapi
sinar bagi bayi yang dirawat dengan usia gestasi 35 minggu atau lebih
BAB III
ANALISA JURNAL
A.
Guidline managemen
Hipperbillirubin
Fokus
guideline yang ditampilkan dalam jurnal “Management of Hyperbillirubinemia in
the Newborn Infant 35 or more Weeks of Gestation” adalah untuk mengurangi
insiden hiperbillirubinemia dan mencegah ensefalopati hiperbilirubin pada bayi-bayi hipperbillirubinemia serta meminimalkan faktor resiko
yang mampu meningkatkan angka kejadian hiperbilirubin seperti ketidakefektifan
menyusui dan kecemasan ibu. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya
penatalkasanaan guidline menurut American
Academy Of Pedriatic adalah mengacu
pada Algorithm for management of jaundice
in the newborn nursery. Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan
oleh kelompok selama 2 minggu di ruang perina RSUD Banyumas, standar penanganan
hiperbillirubin pada rumah sakit tersebut tidak jauh berbeda dengan standar
penanganan menurut American Academy Of Pedriatic.
Kedua standar penanganan baik menurut American
Academy Of Pedriatic maupun standar penanganan yang digunakan RSUD Banyumas sama-sama mengacu pada Nomogram yang digunakan sebagai acuan pada
pemberian fototerapi pada bayi dengan hiperbillirubin.
Secara teknis terdapat beberapa perbedaan dalam
penatalaksanaan penanganan hiperbillirubin di RSUD Banyumas dengan standar yang
diberikan oleh American Academy Of Pedriatic. Namun perbedaan tersebut tidak
mengubah prinsip dasar dalam penangan pasien hiperbillrubin. Perbedaan yang
didapatkan adalah tentang managemen kontrol laborat. American Academy Of Pedriatic mengintruksikan bahwa untuk
pemeriksaan ulang TSB dilakukan setiap 4-24 Jam saat pemberian fototerapi, lama
waktu pemeriksaan ulang TSB dilakukan berdasarkan kondisi bayi dan level TSB.
Namun untuk RSUD Banyumas pemeriksaan ulang TSB dilakukan setelah bayi
mendapatkan program terapi selama 1 x 24 jam, dan hal tersebut dilakukan pada
semua bayi tanpa melihat level TSB. Alasan mengenai standar pemeriksaan nilai TSB
di rumah sakit umum Banyumas yang dilakukan setiap 24 jam belum terkaji, namun
yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa pemeriksaan serum bilirubin adalah
tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus (HTA
Indonesia, 2004).
Untuk kriteria
pemulangan pasien dengan Hipperbillirubin, standar yang digunakan oleh RSUD
Banyumas sama seperti standar American
Academy Of Pedriatic. Level TSB dipastikan dalam level aman sesuai standar
nomogram. Setelah klien dipastikan aman,
klien diobservasi selama 3 hari untuk memastikan klien tidak ada faktor resiko
dan berat badan klien meningkat.
Berikut skema
penanganan Hiperbillirubin di RSUD Banyumas yang dibuat dari hasil observasi
dan wawancara terhadap dokter dan perawat jaga di RSUD Banyumas.
|
|||||||||
![]() |
|||||||||
|
|||||||||
![]() |
|||||||||
|
|||||||||
|
|||||||||

|
|
||||||||||||||||
![]() |
||||||||||||||||
![]() |
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
![]() |
||||||||||||||||
![]() |
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
![]() |
||||||||||||||||
![]() |
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
![]() |
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
![]() |
||||||||||||||||
![]() |
||||||||||||||||
B. Kontribusi
jurnal pada RSUD Banyumas
Secara keseluruhan
guidline yang digunakan RSUD Banyumas secara prinsip sama dengan management
hipperbillirubin menurut American Academy
Of Pedriatic, namun pada pelaksanaanya prosedur managemen hiperbillirubin
kurang efektif terutama pada pencegahan primer. Permasalahan yang ditemukan di
ruang perina RSUD Banyumas selama dua minggu adalah mengenai support
bresfeeding. Dari management rumah sakit sudah mengupayakan usaha untuk support
bresfeeding yaitu dengan menepelkan banyak poster-poster mengenai pentingnya
ASI dan anjuran-anjuran untuk pemberian ASI esklusif, petugas kesehatan di
ruang perina baik dokter maupun perawat juga sudah mengupayakan untuk selalu
mengingatkan ibu untuk memberikan ASI kepada anaknya. Permasalah muncul ketika
beberapa ibu tidak mampu meberikan ASI kepada bayinya karena terkendala ASI
yang belum keluar. Solusi yang diberikan pihak ruangan sejauh ini bersifat
personal dan belum terstruktur dimana beberapa perawat memberikan pijatan
oksitosin kepada ibu yang ASInya belum keluar. Beberapa mahasiswa memang sudah
mempraktekan pijatan oksitosin namun tidak dilakukan oleh semua mahasiswa yang
praktek di ruaang perina RSUD Banyumas.
Di dalam
jurnal disebutkan mengenai pentingnya ASI untuk mengurangi kejadian
Hiperbillirubin dan sudah menjadi fokus utama
American Academy Of Pedriatic
promosi peningkatan pemberian ASI pada bayi baru lahir. Tenaga medis diminta
utuk mengintruksikan ibu untuk menyusui bayi mereka setidaknya 8-12
kali per hari untuk 12 hari pertama kelahiran.
Asupan
kalori yang kurang atau dehidrasi terkait asupan ASI yang tidak mencukupi dapat
berkontribusi terhadap perkembangan Hyperbilirubinemia. Dengan meningkatkan
frekuensi dan kualitas pemberian ASI diharapkan mampu menurunkan kemungkinan
kejadian hiperbilirubinemia secara signifikan pada infant. Pada bayi dengan
hiperbillirubin tanpa dehidrasi American Academy Of Pedriatic melarang pemberian suplement
selain asi seperti air atau dextrose
water. Air atau dextrose water terbukti
tidak dapat mecegah atau mengatasi permasalahan hiperbillirubin (Yetman et all,
1998).
Dari
hasil observasi yang dilakukan oleh Kathi Kemper, Brian Forsyth dan Paul
McCarthy (1989) menunjukan bahwa ibu-ibu yang memutuskan untuk menghentikan
pemberian ASI kepada bayinya secara dini di dua minggu pertama postnatal akan
meningkatkan faktor resiko kejadian hiperbillirubin.
RSUD
Banyumas adalah rumah sakit pendidikan dimana dalam pelaksanaanya setiap
harinya banyak mahasiswa baik dari D3 maupun S1 yang praktek di RSUD Banyumas.
Selama praktek di rumah sakit, ada dua institusi pendidikan yang praktek di
ruang perina. Salah satu solusi yang dapat ditempuh pihak rumah sakit untuk
mempromosikan brestfeeding dan meningkatkan produksi ASI adalah dengan
berkejasama dengan Institusi pendidikan yang praktek di ruang perina RSUD
Banyumas untuk memasukan kompetensi pijatan oksitosin dan promosi breastfeeding
sebagai target kompetensi yang harus dilakukan oleh mahasiswa saat praktek di
ruang perina. Selain itu, upaya yang bisa dilakukan oleh pihak rumah sakit
adalah dengan memberikan poster-poster mengenai pentingnya pijatan oksitosin
dan cara- cara melakukan pijatan oksitosin.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Managemen pelaksanaan
hiperbillirubin di RSUD Banyumas tidak jauh berbeda dengan managemen
pelaksanaan yang dikeluarkan oleh American Academy Of Pedriatic, namun perbedaan tersebut tidak
mengubah prinsip dalam tata laksana pasien dengan hiperbillirubinemi.
2.
Permasalahan yang mucnul dalam
managemen pasien dengan hiperbillirubinemia di RSUD Banyumas adalah pada
pencegahan primer dimana beberapa ibu belum bisa menyusui secara efektif karena
ASI belum keluar
3.
Upaya yang dilakukan pihak rumah sakit untuk mengatasi
pengeluaran ASI yang tidak lancar adalah dengan mempromposikan pijatan
oksitosin, namun belum dibuat suatu management edukasi berkesinambungan dalam
ruangan
B. Saran
:
1.
RSUD Banyumas bekejasama
dengan Institusi pendidikan yang praktek di ruang perina RSUD Banyumas untuk
memasukan kompetensi pijatan oksitosin dan promosi breastfeeding sebagai target
kompetensi yang harus dilakukan oleh mahasiswa saat praktek di ruang perina.
2.
RSUD Banyumas
bekerjasama dengan Ruang perina untuk membuat management edukasi laktasi secara
berkesinambungan dan terprogram.
3.
RSUD banyumas
dapat memanfaatkan potensi rawat inap sebagai konseling kesehatan karena angka
kepuasan pasien terujung pada caring perawat terhadap pasien.
4.
Memberikan sarana dan prasarana
poster-poster/leaflet
mengenai pentingnya pijatan oksitosin dan cara- cara melakukan pijatan
oksitosin.
DAFTAR PUSTAKA
·
American Academy of
Pediatrics. Clinical Practice Guideline.
Management of
hyperbilirubinemia
in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004;114:297-316.
·
HTA Indonesia (2004). Tatalaksana Ikterus Neonatorum.
·
Kathi Kemper, Brian
Forsyth dan Paul McCarthy (1989). Jaundice, Terminating
Breast-Feeding,
and the Vulnerable Child. American
Academy of Pediatrics journals 84 (773).
·
Yetman RJ, et all
(1998). Rebound bilirubin levels
in infants receiving
phototherapy.
J Pediatric.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar